Jakarta, Aktual.com — Koordinator Kajian Komite Indepeden Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Andrian Habibi mengatakan secara yuridis tidak ada larangan bagi parpol yang mendukung calon independen. Akan tetapi hal tersebut menunjukkan kegagalan fungsi parpol dalam melakukan kaderisasi.
Ia mengungkapkan, fungsi Pasal 40 UU No 8/2015 tentang Pilkada mengatur parpol atau gabungan parpol dapat mengusung pasangan calon gubernur, bupati dan wali kota yang memenuhi syarat minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara dalam pemilu DPRD.
Sementara Pasal 41 menunjukkan calon perseorangan ketentuan syarat persentasi sesuai jumlah penduduk. Dukungan untuk calon perseorangan gubernur dan bupati dan wali kota ditunjukkan dengan fotokopi E-KTP, Kartu Keluarga, Paspor dan atau identitas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Merujuk UU Pilkada, Pasal 40 dan 41 UU Pilkada hanya dengan dua cara mengusung calon, yaitu melalui parpol atau gabungan parpol dan calon perseorangan atau dikenal dengan calon independen,” terang Andrian dalam keterangan tertulisnya, Selasa (24/5).
Dalam hal dukungan Partai Nasdem, Hanura, PSI kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, KIPP Indonesia menilai UU Pilkada sangat rapuh dengan ketegasan yang harus dipatuhi oleh penyelenggara dan peserta Pilkada. KIPP memberikan tiga catatan.
Pertama, apakah parpol yang mendukung calon independen boleh berkampanye dan mengkampanyekan calon independen. Misalnya rapat umum dan rapat terbatas calon perseorangan yang melibatkan jurkam dari parpol pendukung perseorangan, pemasangan baliho ada logo parpol-parpol, poster-poster dan sarana kampanye lain untuk mensosialiasikan calon independen.
“Pertanyaan ini muncul karena selaras dengan pasal tentang dana kampanye dalam Pasal 74 ayat (3) bahwa ‘Parpol atau gabungan parpol yang mengusulkan pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye atas nama pasangan calon dan didaftarkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kab/Kota’,” jelas Andrian.
Di sisi lain, Pasal 40 UU Pilkada menegaskan yang memenuhi syarat minimal 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan bahwa Parpol atau gabungan parpol dapat mengusung pasangan calon gubernur, bupati dan wali kota suara dalam pemilu DPRD.
“Hal ini menunjukkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu revisi UU Pilkada ke depan jangan sampai bias,” kata dia.
Catatan kedua, naskah atau draft revisi UU Pilkada, khususnya Pasal 40 ayat (5) menyatakan bahwa dalam hal parpol dan gabungan parpol memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak mengusungkan pasangan calon, parpol atau gabungan parpol tersebut tidak boleh mengusung paslon tidak boleh mengusulkan paslon pada pemilihan berikutnya.
“Artinya parpol-parpol yang mendukung calon independen, jika berkoalisi dengan parpol lain bisa memenuhi persyaratan pengajuan calon,” ucap Andrian.
Ketiga, disarankan revisi UU Pilkada harus memuat pasal terkait pasangan calon perseorangan dengan dukungan parpol. Hal ini demi menjaga asas kepastian hukum terkait warna pencalonan.
Artikel ini ditulis oleh: