”Sokongan itu diberikan bukan karena kualitas figur yang disokong, juga bukan karena peduli pada figur tersebut, tetapi semata-mata karena harga atau nilai transaksi. Bahwa setelah terpilih nanti putusan MA dieksekusi, itu urusan lain. Yang penting parpol sudah mendapatkan mahar besar,” tegasnya.

Kasus Omaleng, tambah Lucius, merupakan gambaran untuk pilkada Indonesia umumnya. Kasus mahar politik tampaknya masih menjadi penentu. ”Hingar bingar proses pencalonan kepala daerah memang tampak seperti pasar yang dipenuhi transaksi di balik keramaian yang tercipta,” tutupnya.

Laporan: Teuku Wildan A.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid