Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersama pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo -Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto -Sandiaga Uno (kiri) menunjukkan nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, aktual.com – Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio meminta kepada para Capres dan Cawapres untuk dapat mengontrol para relawan pendukungnya untuk tidak mengeluarkan hoaks dan ujaran kebencian.

Menurut Hendri, relawan akan menurut pada pemimpinnya. Untuk itu, keinginan untuk menghindari hoaks ataupun ujaran kebencian harus muncul dari pemimpinnya terlebih dahulu.

“Para Capres dan Cawapres memang harus menyampaikan untuk tidak memberikan hoaks atau tidak mengeluarkan kebencian-kebencian,” katanya di Jakarta, Jumat (4/1).

Ia menilai di level Tim Kampanye Nasional (TKN) atau Badan Pemenangan Capres dan Cawapres sudah relatif bisa untuk mengontrol untuk tidak tidak mengeluarkan hoaks maupun ujaran kebencian.

Namun, kalau hal tersebut tidak diikuti para relawan atau para simpatisannya juga akan percuma.

“Menurut saya pekerjaan rumah terbesar bagi para tim sukses para calon capres dan cawapres itu adalah harus dapat mengajak dan juga dapat mengontrol relawan-relawan berserta para simpatisannya untuk tidak mengeluarkan hoaks ataupun ujaran kebencian, dan berhenti setelah Pilpres 2019 selesai dilaksanakan,” ucapnya.

Ia juga mengimbau kepada masyarakat yang memiliki akun media sosial agar dapat bertanggung jawab atas akun yang dimilikinya sehingga tidak digunakan untuk hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat “Memiliki akun media sosial itu sebenarnya tidak mudah karena harus bisa mengontrol dan harus bisa memilah, kira-kira pesan-pesan apa saja yang bisa disampaikan atau tidak. Ini agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Ini yang harus diperhatikan para pemilik akun media sosial,” ujar Hendri.

Hendri melanjutkan, walaupun saat ini sudah ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kenyataannya masih belum efektif.

“Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sangat luas ragam kata dan maknanya sehingga bisa digunakan dengan berbagai cara untuk menghindari UU ITE,” ucapnya.

Yang paling penting, menurutnya adalah bagaimana pemerintah dapat merespons penyebaran hoaks ataupun ujaran kebencian dengan cepat dan tidak berlebihan. Ia setuju ada hari bebas ujaran kebencian dan hoaks. Selain untuk mengampanyekan kebaikan, setidaknya masyarakat akan belajar untuk tidak mengeluarkan kata-kata atau berita hoaks pada hari tertentu.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin