H. Musadat Johar, salah seorang tokoh masyarakat dan budayawan kampung Loloan mengatakan, mainan tradisional ini sudah mulai jarang terlihat sejak tahun 1990 an dan hilang sama sekali sejak tahun 2000.
“Saya mengalami membuat dan memainkan “cikar-cikaran” ini. Saya apresiasi positif generasi muda yang berupaya membangkitkan mainan tradisional ini karena murah, kuat dengan bahan-bahan alami,” katanya.
Ia berharap, tidak hanya “cikar-cikaran” yang akan bangkit kembali, tapi juga budaya lainnya dari kampung Loloan yang beberapa diantaranya terancam punah seperti rumah panggung.
Mustaidin, salah seorang tokoh muda Loloan mengungkapkan, upaya untuk menjaga dan melestarikan budaya kampung tersebut tidak hanya lewat lomba “cikar-cikaran”, tapi juga kegiatan lain seperti rembug budaya dan membuat suasana kampung Loloan seperti tempo dulu.
“Kami akan undang budayawan-budayawan untuk diajak rembug tentang budaya Loloan, kami juga sudah merencanakan untuk membuat suasana kampung Loloan seperti zaman dulu saat malam hari. Pada malam yang sudah ditentukan, seluruh masyarakat sini akan mematikan listrik dan menggantinya dengan penerangan tradisional,” katanya.
H. Musadat Johar, Habibil Muafi dan Mustaidin berharap, beberapa kegiatan saat bulan Muharam ini bisa menjadi rintisan bagi parade budaya Loloan yang lebih besar di masa mendatang.
Pantauan di lapangan, “cikar-cikaran” yang didorong anak-anak meskipun bahan dasarnya masih tradisional, namun beberapa komponen dimodifikasi sesuai perkembangan zaman seperti lampu warna-warni.
“Yang aslinya untuk penerangan hanya menggunakan sejenis obor berbahan bakar minyak tanah di dalam botol kecil. Melihat kreasi peserta lomba, menjadi bukti mainan ini bisa dimodifikasi mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan bahan baku dasarnya yaitu bambu,” kata Musadat.
(Wisnu)
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid