Jakarta, Aktual.com – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai institusi Polri tidak serius dan tidak konsisten dalam mengawal reformasi kultural di internalnya. Hal itu, menurutnya, terlihat dari maraknya pembatalan hukuman pemecatan atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap anggota Polri yang telah divonis bersalah, yang kemudian berubah menjadi sanksi demosi melalui putusan banding Komisi Kode Etik Profesi (KKEP).
Praktik tersebut semakin menguat pascakasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo. Dalam kasus itu, sejumlah perwira menengah hingga perwira tinggi sempat dijatuhi sanksi PTDH, namun kemudian batal setelah mengajukan banding.
“Demikian juga anggota-anggota yang telah mendapat hukuman demosi, kemudian diringankan, dan saat ini sudah kembali naik pangkat maupun jabatan,” ujar Sugeng, Rabu (30/12/2025).
Sugeng menilai ketidakseriusan reformasi kultural tersebut dipicu oleh praktik internal yang disebutnya sebagai silent blue code, yakni budaya saling melindungi antaranggota Polri yang mentoleransi pelanggaran etik maupun disiplin.
“Oleh karena itu, dengan adanya desakan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reformasi Polri melalui pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri yang diketuai Jimly Asshiddiqie, institusi Polri wajib menghentikan praktik impunitas dan silent blue code,” tegasnya.
Menurut IPW, praktik tersebut berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap Polri yang seharusnya menjunjung tinggi nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman moral dan etika profesi.
Sugeng menilai putusan banding KKEP kerap mengubah hukuman PTDH “seratus delapan puluh derajat” menjadi sekadar demosi. Akibatnya, hak-hak sebagai anggota Polri tetap melekat, meskipun pelanggaran yang dilakukan tergolong berat dan mencederai marwah institusi.
Salah satu contoh nyata, kata Sugeng, terjadi di Polresta Tangerang, di mana dua anggota yang terlibat kasus narkoba batal dipecat setelah mengajukan banding di Polda Banten. Putusan PTDH digantikan dengan sanksi demosi.
IPW juga mencatat, proses penanganan pelanggaran anggota Polri sering kali memakan waktu panjang dan hanya dipercepat jika kasus tersebut viral di media sosial. Dalam sejumlah kasus, hasil putusan banding KKEP bahkan tidak pernah dipublikasikan secara terbuka.
Oleh sebab itu, IPW mendorong Komisi III DPR RI untuk memanggil Kapolri guna membuka praktik impunitas dan silent blue code dalam tubuh Polri. Langkah tersebut dinilai penting sebagai bagian dari kerja Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan.
“Keputusan PTDH sejatinya adalah wujud keseriusan Polri menjaga marwah institusi. Jika terus dibatalkan melalui banding, reformasi kultural hanya akan menjadi jargon,” pungkas Sugeng.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















