Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz (istimewa)
Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz (istimewa)

Jakarta, Aktual.com – Pemilihan Umum, baik Nasional maupun Daerah, adalah cara untuk menentukan pemimpin berdasarkan keinginan banyak pemilih. Sebagai instrumen demokratis, Pemilu mengarahkan kekuasaan ditentukan oleh semakin banyak orang, bukan sebaliknya. Vox Populi Vox Dei bukan L’etat C’est Moi.

Kebijakan politik pemerintah adalah gabungan antara keinginan masyarakat dan gagasan pemimpin demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Akuntabilitas pemerintahan akan semakin terbangun, jika proses Pemilu/Pilkada mulai dari pencalonan, kampanye, pencoblosan hingga pemerintahan terpilih dapat menyatukan antara kepentingan masyarakat dan kebijakan pemimpinnya.

Demikian Catatan Akhir Tahun 2016 Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebagaimana disampaikan Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz, ditulis Senin (2/1).

Diungkapkannya, kerakyatan dalam Pemilu adalah suatu kondisi dimana masyarakat pemilih menjadi jantung dari proses pengambilan kebijakan pemerintah. Hak memilih secara individu dalam Pemilu adalah tanda dimana kekuasaan pada dasarnya milik rakyat dan pengelolaan sumberdaya kekuasaan ditujukan kepada rakyat.

Karenanya, sejak awal prosedur dan sistem pemilihan umum ataupun Pilkada juga menguatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Ada tiga peristiwa untuk mengukur proses kerakyatan dalam Pemilu sepanjang tahun 2016.

“Yaitu pelaksanaan Pilkada serentak, Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu dan strategi sosialisasi dan informasi Pemilu/Pilkada bagi penguatan Pemilih,” kata Hafidz.

Untuk poin pertama, Kerakyatan Pemilu dalam peristiwa Pilkada dapat diukur dengan sejauhmana representasi dan kepentingan rakyat tercermin dalam proses pencalonan. Ia merujuk pasal 40 ayat 1 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Dimana parpol atau gabungan paprol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Dengan ketentuan tersebut, maka di setiap daerah Pilkada jumlah paslon yang dapat muncul dari unsur DPRD adalah 4 hingga 5 pasangan calon. Ketentuan 20 persen ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi partai politik untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat pemilih.

Data menunjukkan, meskipun jumlah paslon dari unsur parpol secara ideal dapat terwujud sebanyak 350 s/d 400 paslon, dalam Pilkada serentak hanya muncul sebanyak 244 paslon. Sebagian besar jumlah paslon di setiap daerah rata-rata dua paslon dari unsur parpol. Bahkan terdapat 9 daerah dengan paslon tunggal sebagai akibat terjadinya dukungan koalisi yang besar.

Dimensi kerakyatan politik, lanjut Hafidz, dimana representasi masyarakat dalam komposisi pencalonan jelas tidak terwujud. Minimnya jumlah paslon menunjukkan mampetnya keterwakilan rakyat dalam komposisi paslon di seleksi kepemimpinan daerah. Semakin sedikit paslon yang disediakan oleh parpol maka adu gagasan dan program semakin lenyap.

Poin kedua, Kerakyatan Pemilu dalam RUU penyelenggaraan Pemilu dapat diukur dengan pilihan sistem Pemilu yang disajikan dalam rancangan tersebut. Apakah semakin meneguhkan kekuatan pemilih dalam proses pengambilan keputusan atau sebaliknya.

Dengan memperhatikan subtansi RUU tersebut maka ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada. ‎Contohnya perihal sistem Pemilu, RUU menyebutkan Pileg dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan parpol.

Elemen sistem Pemilu lainnya dalam RUU tersebut menyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi dimana suara Parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya.

‎Ambang batas perwakilan sebesar 3,5 persen untuk DPR. Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai.

Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan berdasarkan nomor urut. Ketentuan ini, seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut.

Akan tetapi, jika diperhatikan lebih lanjut sistem ini tak ubahnya proporsional tertutup nomor urut. Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi.

“Selain sesungguhnya tertutup, pilihan sistem Pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan yang selama ini kita alami,” kata Hafidz.

Problem mendasar dalam sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang menyebabkan partai politik lemah dan meningkatkan politik transaksional jawabannya bukan dengan mengubah sistem tetapi dengan penegakan hukum yang kuat, efektif dan berwibawa serta prosedur pencalonan yang lebih baik.

Menurutnya, ketentuan sistem Pemilu ini harus benar-benar menjadi perhatian DPR. Selain untuk perbaikan Pemilu mendatang juga terkait nasib parpol itu sendiri.‎ Sebab yang dibutuhkan adalah mempertahankan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, mewujudkan sistem penegakan hukum yang kuat serta mengatur proses pencalonan untuk membangun soliditas kepartaian maka harapan publik untuk mendapatkan proses Pemilu yang lebih adil dan berkualitas semakin terwujud.

Poin ketiga, Kerakyatan Pemilu dalam menerima sosialisasi dan pendidikan pemilih. Dari waktu ke waktu partisipasi pemilih terus menurun. Antusiasme masyarakat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya mengalami penurunan. Selain faktor informasi pemilih dari penyelenggara Pemilu, juga sangat dipengaruhi oleh perilaku elit dan partai politik dalam menunaikan janji politiknya.

Strategi sosialisasi dan pendidikan pemilih masih menggunakan cara-cara lama yaitu mengandalkan tatap muka dan alat peraga daripada secara cepat mengikuti perkembangan zaman. Materi sosialisasi Pemilu juga masih berkisar kepada ajakan untuk mencoblos, mengingatkan tentang hari pemungutan suara serta mengajak untuk menentukan pilihan dimana materi-materi tersebut sudah diketahui secara khalayak umum.

Dalam meningkatkan pengetahuan dan partisipasi pemilih di setiap penyelenggaraan Pemilu, dibutuhkan materi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter pemilih, metode penyampaian yang efektif dan efisien serta pelibatan actor dan kelompok masyarakat secara luas.

Pendidikan pemilih bukan hanya dimaksudkan agar pemilih bersedia datang ke TPS, melainkan agar mampu menentukan pilihan atas kehendaknya sendiri, dengan cara yang benar dan dengan kesadaran bahwa pilihan tersebut akan menentukan pemerintahan dan nasibnya kedepan.

Kesadaran inilah yang disebut dengan kompetensi warga; yaitu kemampuan individu untuk memahami dan mengurus kepentingan bersama, serta menyadari bahwa haknya sendiri untuk memerintah dan mengambil keputusan melalui negara terkait kepentingan bersama, sedang didelegasikan kepada orang lain yang dipandang cakap, yang kemudian dipilihan dalam Pemilu.

Upaya peningkatan kompetensi warga seperti ini, tentu saja tidak dapat dicapai serta memuaskan apabila pendidikan pemilih dilakukan hanya dengan cara ‘tembak lari’. Pendidikan pemilih akan tercapai dengan upaya yang sistematis, dilakukan secara berkelanjutan dan dengan melibatkan banyak pihak, khususnya penyelenggara dan kelompok masyarakat sipil yang peduli terhadap penguatan demokrasi.

(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan