Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) melakukan unjuk rasa bertema Seruan Sidang Rakyat di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/10/2015). Aksi yang bertepatan dengan sumpah pemuda tersebut mengajak mahasiswa sebagai kaum muda untuk mengkritisi kinerja pemerintahan Jokowi-JK selama setahun pemerintahannya.

Jakarta, Aktual.com – Dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo- Jusuf Kalla merupakan ajang yang tepat untuk mengevaluasi, mengkontempelasi, menagih, mendesak, serta menuntut janji-janji pemerintah yang tertuang dalam visi misi dan cita-cita serta tujuan sebuah negara.

Bagi mahasiwa momentum ini adalah kesempatan untuk mengoreksi kinerja kabinet pemerintahan dalam hal mengurus dan mengatur negara. Faktanya kepemimpinan dibawah komando Jokowi-JK sangat mengecewakan dan berbanding terbalik dari yang diharapkan.

Berbagai hasil survey menunjukan kepuasan terhadap kinerja pemerintah, namun Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menilai bahwa kenyataannya hal itu tidak sesuai realita, lantaran rakyat masih belum sejahtera bahkan justru menjurus pada sengsara.

“Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) menyatakan, tahun 2016 ketimpangan sudah mencapai angka 0.41-0.45, dan jika sudah mencapai 0.5 maka sudah memasuki kesenjangan sosial yang berbahaya bagi kestabilan sebuah negara,” ujar Ghaza Koordinator BEM SI dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (20/10).

BEM SI menilai, Presiden tidak efektif mengelola negara karena kabinet tidak solid, kepentingan transaksional dan oligarkis lebih terlihat dalam pemerintahan yang dipimpin Jokowi. Bahkan doktrin nasionalisme sudah meredup terbukti dengan keberpihakan pemerintah kepada asing dipertontonkan secara terang-terangan kepada rakyat.

“Cengkraman asing kian tak terbendung. Kemandirian ekonomi yang dicanangkan dalam nawacita hancur dengan afiliasi yang nampak selama 4 semester ini.”

Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan mencerminkan bagaimana penegakan hukum layaknya jaring laba-laba, hanya menjerat yang lemah dan runtuh terbelah pada yang kuat. “Pemerintah lebih memihak kepada korporasi dibandingkan kepada asset hutan hujan tropis yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa ini.”

Tahun 2015, Polda Riau menetapkan 18 dari 37 korporasi sebagai tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan. Namun, tahun 2016 ini terbitlah Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) kepada 15 perusahaan yang telah menyumbangkan asap di Riau, menyebabkan 5 orang meninggal, dan ribuan orang menderita ISPA.

Terlebih kejadian ini diperkuat dengan beredarnya foto kongkow oknum Polda Riau dengan para elit korporasi tersebut. Tidak berpihaknya pemerintah kepada rakyat kembali terlihat dari kasus mega proyek reklamasi, khususnya di Teluk Benoa Bali dan Teluk Jakarta.

Di teluk Benoa, desain reklamasi sudah muncul sejak tahun 2007 dengan Tike Engineers and Architect asal Jerman sebagai pembuat desain. Lahirnya Perpres no.51 tahun 2014 yang mengubah wilayah teluk Benoa yang sebelumnya masuk zona L3 (konservasi) menjadi zona P (penyangga), seolah menjadi dasar izin proyek ini.

Hal yang sama terjadi pada reklamasi teluk Jakarta. Konstitusi terakhir yaitu putusan PTUN nomor 193/G/LH/2015/PTUN-JKT yang mengabulkan permohonan penundaan keputusan gubernur DKI Jakarta nomor 2238 tahun 2014 tentang perizinan reklamasi, khususnya di pulau G.

Keduanya memperlihatkan perjalanan proyek yang dipaksakan, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa izin ini diperuntukan pada kepentingan investor, bukan masyarakat umum.

Tidak berpihaknya pemerintah kepada rakyat kembali terlihat dari kebijakan instan yang inkonstitusional, yaitu pengampunan pajak. Defisitnya anggaran karena kesalahan pengelolaan serta kecanduannya negara pada pambangunan direspon dengan kebijakan kolonialisme, dengan mengampuni pajak kepada orang berduit dan merampas pajak kepada rakyat pribumi.

Walaupun periode pertama harta yang terkumpul sudah 95 T dari target 120 T, namun indicator keberhasilan bukanlah soal nominal. Mengapa demikian ? Kalau kita kembali ke cara berpikir yang benar, semakin banyak harta yang dilaporkan dan semakin banyak uang tebusan yang dibayarkan, berarti semakin banyak jumlah pajak yang harus dikeluarkan.(Fadlan Syam Butho)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid