Irawan Santoso Shiddiq, Direktur Eksekutif Daar Afkar & Co. Lawyers
Irawan Santoso Shiddiq, Direktur Eksekutif Daar Afkar & Co. Lawyers

Ini bahasan setiap peradaban. Causa Prima, tentang bagaimana sebab akibat. Positivisme, sebuah anak kandung dari rennaisance, hanya membatasi pada dua hal: dolus dan culpa. Karena Causa Prima diletakkan pada ‘manusia’. Pasca rennaisance, manusia mulai menteorikan ulang tentang ‘being’ (wujud).

Bahwa ‘being’ lahir dari buah ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘perbuatan Tuhan.’ Masa itu, dogma ‘jabariyya’ Gereja Roma begitu melekat. Alhasil terjadi abuse of power dari “Vox Rei Vox Dei”. Suara Raja Suara Tuhan. Karena pra rennaisance, Causa Prima begitu kental pada ‘Perbuatan Tuhan,’ yang merujuk pada tafsir tunggal Gereja Roma.

Pun demikian dalam urusan kekuasaan. Raja dan Gereja menjadi strata punggawa. Bangsawan dan agamawan mendapat prioritas atas. Sementara kaum penguasaha, kerap dinomorduakan. Rakyat jelata tetap dalam strata ketiga. Maka muncullah banyak pertanyaan, siapa yang mau ditakdirkan menjadi rakyat? Mengapa bukan terlahir sebagai bangwasan? Apakah Tuhan tak adil?

Beragam tanya, merembet pada perihal kekuasaan. Magna Charta, abad 13, menjadi pendobrak. Kekuasaan Raja John dipertanyakan. Para Baron, 25 kelompok di Desa Rumeedee, Inggris, melakukan perlawanan. Kekuasaan Raja tak bersifat absolut. Kaum Baron dipelopori Ordo Kesatria. Mereka kelompok penjaga ajaran Isa Allaihisalam, yang kontra dengan ajaran Gereja Roma.

Ordo Kesatria ini mendapat pengaruh dari masa Perang Salib, kala bersentuhan dengan pasukan Salahuddin al Ayyubi. Ian Dallas, ulama besar dari Eropa menuliskannya dalam kitabnya ‘The Interim is Mine’. Maka muncullah suatu kelompok penegak “virtue” (kebajikan). Mereka mendapatkan ajaran dari “futtuwa” yang kala itu kental dalam Islam.

Causa Prima tetap melekat pada ‘Tuhan.’Tapi tafsirnya harus seimbang. Problematika Eropa masa itu, perihal pengaruh bak ajaran “jabbariyya” yang melekat pada Gereja Roma. Kaum Ordo Kesatria melakukan perlawanan. Hasilnya adalah Magna Charta.
Tapi di satu sisi di belantara Islam terjadi. Mu’tazilah merebak tajam. Ajaran filsafat yang merambah dunia Islam. Filsafat mempengaruhi tajam belantara Islam.

Disitulah ‘causa prima’ kerap jadi bahasan panjang. Tentang “perbuatan manusia” dan “perbuatan Tuhan.” Antara wujud dan maujud jadi perdebatan. Imam Ahmad bin Hambal, mendekam selama 8 tahun di tahanan, mempertahankan aqidah. Karena Imam Ahmad bin Hambal tak sudi mengiyakan “Al Quran” dianggap sebagai “makhluk”.

Sementara mu’tazilah sebaliknya. Para Khalifah dikuasai paham mu’tazilah. Imam Ahmad tak sudi mengikuti. Dia berfatwa, causa prima tetap berada pada Tuhan secara utuh.

Kemudian hadir Imam Asy’ari. Yang dulu mantan pengikut mu’tazilah. Beliau kemudian berdiri gagah dalam sebuah Khutbah, membantah seluruh ajaran mu’tazilah. Dan menarik garis batas dengan ajaran yang terpengaruh filsafat itu. Maka dikenalah aqidah Asy’ariah, yang meluruskan dari paham mu’tazilah.

Bahwa causa prima tetap melekat pada “perbuatan Tuhan.” Bukan “perbuatan manusia.” Imam al Ghazali lebih membahana lagi. Beliau menyerang kaum mu’tazilah dengan tegas dan jelas. Tahafut al Falasifah, kitabnya, memberi gambaran utuh. Causa Prima tak terbatas pada ruang dan waktu. Ini yang Imam Ghazali jelaskan.

Karena causa prima berhubungan erat dengan ‘qudrah dan iradah.’ Para filosof meletakkan ‘qudrah dan iradah’ pada manusia. Bukan pada Tuhan. Pencipta ‘being’ seolah berada pada domain ‘manusia.’ Imam Ghazali membagi tiga jenis filosof: ilahiyyun (ketuhanan), tabiiyyun (naturalisme), dan dahriyyun (ateisme).

Rennaisance datang. Pasca mu’tazilah meredup dalam dunia Islam, filsafat menyeberang ke Eropa. Dipungut kaum penentang Gereja Roma. Mereka menggunakan filsafat untuk melawan dogma. Perdebatan hebat pun terjadi. Antara saintifisme dan dogma. Yang populis tentu kisah Galileo dan Copernicus.

Mereka menggunakan sainstifistik, warisan mu’tazilah, kemudian membantah dogma Gereja. Tentang bumi dan mahatari, siapa yang berkeliling. Tapi kedua hal itu tak ada yang salah. Dalam pandangan mata, memang matahari yang mengelilingi bumi. Dalam pandangan teleskop Galileo, bumi yang mengitari matahari.

Tapi rennaisance kemudian menjadi petaka. Kaum filosof menganggap sebagai ‘pencerahan.’ Tapi sejak itulah petaka melanda Eropa. Karena manusia terjebak pada “segala sesuatunya adalah materi.” Sejak itulah manusia berpikir bahwa causa prima hanya sebatas pada ruang dan waktu. Karena rennaisance menteorikan bahwa Tuhan seperti pembuat jam, ketika jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya.

Rene Descartes menteorikan tentang ‘cogito ergo sum’ yang dipuja. ‘Being’ lahir dari teori “aku berpikir maka aku ada”. Dari situlah manusia terjerambab pada “akal” semata. hanya terbatas pada ruang dan waktu. Tak lebih. Causa prima pun jatuh pada “perbuatan manusia.” Bukan “perbuatan Tuhan.” Teori ini merambah segala lini. Sampai ke sektor kekuasaan.

Sebelumnya, kekuasaan merupakan “kehendak Tuhan.” Disuarakan dalam “Vox Rei Vox Dei”. Suara Raja Suara Tuhan. Walau kemudian hal itu diselewengkan oleh dogma. Tapi kemudian rennaisance yang melahirkan modernitas, menyimpangkan lebih lagi. Revolusi Perancis, 1789, menjadi klimaknya. Disitulah “Vox populi Vox Dei” mengeliminasi “Vox Rei Vox Dei.”

Kekuasaan bukan lagi “qudrah dan Iradah” Tuhan. Melainkan dianggap sebagai “kehendak manusia” sepenuhnya. Leviathan-nya Thomas Hobbes memberikan teori baru tentang “state”. Ini yangh makin melebarkan teori-nya Nicollo Machiavelli.

Hobbes meletakkan bahwa urusan kekuasaan sepenuhnya merupakan “kehendak manusia.” Karena kekuasaan harus diatur, bak suatu organisasi komunal. Organisasi komunal yang mesti ditertibkan dalam suatu tatanan sosial. Itulah yang dianggap Hobbes sebagai “state”.

Sementara John Locke masih membantah. Locke mengutarakan bahwa kekuasaan merupakan “duel contract”. Kekuasaan memiliki kontrak dari Tuhan dan dari Manusia. Tak bisa atas “kehendak manusia” semata. Causa Prima berada pada dua wilayah.

Tapi klimaknya ada pada Rosseau. Dia yang menteorikan bahwa kekuasaan merupakan otoritas manusia semata. Tak ada lagi “otoritas Tuhan.” Rosseau menteorikannya dengan “le contract sosciale”. Kontrak sosial. Kekuasaan merupakan hukum kontrak yang diberikan manusia secara bersama-sama. Alhasil lahirlah “constitutio” sebagai wujud dari kekuasaan bersama. Kontrak sosial tadi.

Dari sinilah causa prima makin terbatasi. Causa prima makin tergerus pada urusan ruang dan waktu. Tak melebihi dari itu. Descartes memberi batasan. Causa prima itu hanya ada pada sebab dan akibat buah dari ‘perbuatan manusia.’ Ini bentuk ekstrim dari teori Plato, tentang ‘ide bawaan.’ Karena seolah manusia diberikan ‘ide bawaan’ untuk mengungkap Kebenaran.

Alhasil berubah menjadi akal-akalan. Aristoteles menyebutnya sebagai “akal bawaan.” Akal yang berasal dari Tuhan, dan manusia diberi kebebasan untuk mengurai Kebenaran dengan akal semata.

Karena Plato, membagi susunan anatomi ruhani manusia terdiri dari tiga: akal, kehendak, dan nafsu. Akal dianggap sebagai raja. Inilah yang dibantah Imam Ghazali. Sejatinya susunan anatomi ruhani manusia bukan semata di sana. Melainkan ada qalbu, akal dan nafsu. Ini yang secara garis besar.

Dzahir dikendalikan oleh bathin. Dalam bathin itulah ada qalbu, akal dan nafsu. Akal bukanlah punggawa. Melainkan bak Perdana Menteri. Raja yang sejati adalah qalbu. Dalam qalbu inilah terdapat ruh.

Shaykh Abdalqadir al Jilani, ulama besar yang menjelaskan tentang anatomi rohani secara utuh. Kitabnya, Sirrul Asrar, memberi pengaruh besar umat untuk terlepas dari pengaruh ajaran mu’tazilah.

Dari anatomi itulah, causa prima, tak terbatas pada ‘ruang dan waktu’ seperti ajaran filosof. Karena dalam teori, semuanya bersifat kepastian. Itu yang disebut dengan saintifik. Sementara Imam Ghazali memberikan gambaran, antara kepastian dan keniscayaan, dua hal yang berbeda.

Makan dan kenyang, itu suatu kepastian. Tapi kertas terbakar oleh api, itu suatu keniscayaan. Filosof meletakkan bahwa yang membakas kertas adalah api. Causa primanya terletak pada demikian. maka seolah yang membakar kertas itu adalah “perbuatan manusia.”

Tapi Imam Ghazali memberi bantahan. Kertas dan api merupakan ciptaan Allah Subhanahuwataala. Yang keduanya diciptakan berikut dengan sifat-sifatnya. Allah menciptakan api, berikut dengan sifatnya. Begitu juga dengan menciptakan kertas, berikut dengan sifatnya. Tak terpisahkan.

Tatkala api bisa membakar kertas, karena memang sifat api yang “membakar”. Dan sifat “kertas” yang merupakan bisa terbakar. Yang menciptakan sifat api dan sifat kertas itu adalah Allah Subhanahuwataala. Bukan manusia.

Jadi, causa prima atas kertas yang terbakar oleh api, disitulah “Perbuatan Allah.” Bukan “perbuatan manusia.” Karena, kata Imam Ghazali, ada kalanya api tak bersifat panas, melainkan menjadi dingin.

Inilah fakta ketika api membakar tubuh Ibrahim Allaihisalam, apinya berubah menjadi dingin. Disinilah causa prima terletak pada Tuhan. Bukan manusia. Karena Tuhan yang mampu mengubah sifat api dari panas menjadi dingin.

Maka, dolus dan culpa bukan semata karena “perbuatan manusia.” Alpa dan lalai, inilah dalang causa prima bagi kaum positivistik. Bahwa setiap tragedi, selalu bersandar pada sebab akibat yang berujung pada “perbuatan manusia.” Bukan perbuatan Tuhan.

Dari mindset inilah, ketika gunung meletus, ketika gempa terjadi, manusia modern terjebak untuk mencari titik gempa. Tapi melupakan bahwa “tragedi” merupakan Qada dan Qadar dari Allah Subhanahuwatala. Dan dari “perbuatan manusia” itu, maka solusinya juga seolah beranjak dari cara berpikir akal semata.

Sementara, diagnona akal, tak sepenuhnya mengarah pada Kebenaran. Nietszche telah memberikan bantahan, “Filsafat adalah berhala.” Karena manusia modern telah terjebak pada “rasionalitas” yang cenderung berjumpa pada nafsyu syuahwati. Inilah modernitas. Martin Heidegger, filosof Jerman pun seiya sekata. ‘Filsafat tak lagi bisa dijadikan jalan menuju Kebenaran,” ujarnya dalam “Being and Time.”

Inilah titik buntu dari filsafat. Karena rennaisance telah melahirkan modernitas, yang berujung pada kebuntuan. Positivisme, sebagai buah dari modernitas, berujung pada ‘psikosis’, sebagaimana istilah dari Ian Dallas. Karena manusia cenderung pada akal yang berkolaborasi dengan nafsu syahwati. Dan nafsyu syahwati inilah pintu masuk setan untuk menyesatkan manusia.

Karena manusia modern terjebak pada “segala sesuatunya adalah materi.” Dari teori itulah seolah causa prima hanya sebatas pada ruang dan waktu. Padahal, tragedi atau “being” bukanlah berada pada “ruang dan waktu.” Ruang dan waktu, itu hanya berada alam materi. Alam mulk semata. sementara kehidupan dunia, terlampau luas, mencakup alam jabarut, lahut dan Nur Muhammadyah. Dan anatomi ini hanya lengkap dalam dunia tassawuf.

Sebagaimana Allah Subhanahuwataala berfirman dalam Al Quran Surat As Shaffat (96):

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَما تَعْمَلُون
“Dan Allah menciptakan perbuatanmu dan apa yang kalian perbuat.”

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq
(Direktur Utama Daar Afkar & Co. Lawfirm)