Jakarta, Aktual.co — Anggaran pilkada serentak dinilai akan membengkak lantaran adanya alokasi untuk debat publik terbuka pasangan calon, bahan kampanye pamflet, poster, alat peraga, umbul-umbul dan sejumlah iklan komersil lain.
Centre For Budget Analysis (CBA) justru memiliki pandangan lain, membengkaknya anggaran justru karena honor penyelenggara pilkada (KPU).
“Biasanya, pihak KPU selalu membentuk Kelompok kerja (Pokja) untuk meningkatkan penghasilan pribadi mereka,” ujar Direktur CBA, Ucok Sky Khadafi, Rabu (6/5).
Uchok menyarankan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melarang internal KPU membentuk pokja apapun agar anggaran pilkada tidak bengkak.
Sebab, dengan banyaknya pokja maka negara harus membayar honor kepada KPU, dan anggaran menjadi boros.
“Mereka juga harus melarang adalah anggota KPPS pada setiap TPS, yang berjumlah 7 orang menjadi 4 orang agar bisa menghemat anggaran,” katanya.
Kemudian, lanjut Uchok, perjalanan dinas anggota KPU juga harus dikurangi, sebab anggaran perjalanan dinas bisa menghabiskan antara 10 hingga 47 persen dari total dana pilkada. Anggota KPU yang suka ‘jalan-jalan’ ini disinyalir mengambil untung dari uang saku sebagai penghasilan sampingan.
Anggaran pelayanan administrasi pun rata-rata bisa mencapai antara 23 hingga 25 persen dari total budget pilkada.
“Padahal pelaksanaan anggaran administrasi ini kadang-kadang banyak double anggaran kegiatan,” katanya.
Selain itu, mengenai dana pengamanan untuk Polisi dan TNI yang sangat membebani anggaran pilkada, CBA meminta Kemendagri membuat standar honor bagi penyelenggaraan pilkada.
Saat ini honor di setiap daerah memiliki standar berbeda, dan membuat dana pilkada membengkak. Pos dana pengamanan pilkada pun lebih baik diambil dari APBN dan bukan dari APBD karena dinilai membebani anggaran daerah.
“Kedua lembaga ini, yakni kepolisian dan TNI merupakan lembaga vertikal yang harus dibayar oleh APBN atau anggaran pusat.”
Artikel ini ditulis oleh: