Jakarta, Aktual.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan upaya memperkuat literasi keuangan. Apalagi di saat bersamaan produk keuangan juga semakin pesat yang ditawarkan oleh industri jasa kuangan.

Termasuk juga produk-produk keuangan itu seperti fintech yang semakin pesat perkembangannya. Sehingga memerlukan pengetahuan lebih terkait produk keuangan dari masyarakat.

“Dengan pengetahun itu, diharapkan masyarakat dapat mengambil manfaat dari produk dan layanan tersebut dan tidak terjerumus pada kondisi yang malah merugikan mereka,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad, di Jakarta, Selasa (23/8).

Untuk itu, OJK intens melakukan peningkatan literasi keuangan masyarakat Indonesia, salah satunya melalui penyusunan dan penyediaan materi Literasi Keuangan pada setiap jenjang pendidikan formal.

OJK pun pernah melakukan survey pada 2013 lalu. Hasilnya, lebih dari 75% masyarakat Indonesia ternyata masih memiliki pemahaman yang kurang tentang keuangan.

“Tentu saja, itu menjadi fakta yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi kita. Dan jadi PR yang tidak ringan bagi OJK,” tegas Muliaman.

Menurut Muliaman, edukasi keuangan tak hanya dilakukan terhadap pendidikan menengah ke bawah, di tingkat perguruan tinggi pun masih penting.

“Sebab, kemandirian keuangan seseorang bukan ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikan seseorang. Tapi ditentukan seberapa financially literate mereka, dan seberapa baik financial habits, financial practice dan financal discipline mereka,” ucap dia.

Tanpa itu, sebutnya, akan sulit mencapai kemandirian financial dan bahkan menjadikan mereka rentan terhadap penyalahgunaan produk dan jasa keuangan.

Apalagi memang, berdasar hasil research dari ADB Institute yang dipublikasikan tahun lalu dengan judul ‘Financial Education in Asia: Assessment and Recommendations‘, menyebutkan korelasi antara GDP per kapita dengan beberapa indikator financial development di beberapa negara Asia Pacific.

“Ternyata dihasilkan bahwa ada hubungan yang positif antara income percapita dengan financial development,” jelasnya.

Di beberapa negara Asia seperti, Jepang, Korea Selatan, Australia dan New Zaeland terlihat bahwa dengan GDP per kapita yang tinggi maka selalu diiringi dengan tingkat financial development yang tinggi juga.

“Makanya, research ini menegaskan bahwa Financial Literacy akan memiliki korelasi yang positif dengan economic development dan financial development,” terang Muliaman.

Apalagi, setelah dilewatinya Global Financial Crisis tahun 2007-2009, pentingnya literasi keuangan menjadi perhatian di berbagai belahan dunia. Sebab, literasi keuangan yang memadai selain dipercaya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga akan dapat mencegah terjadinya miss selling produk-produk keuangan.

“Sebab miss selling produk keuangan itu akan menjadi salah satu penyebab terjadinya global financial crisis seperti pada waktu itu,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan