Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi IX DPR RI Kris Dayanti (KD) mengingatkan komitmen Pemerintah untuk menekan permasalahan gizi buruk pada anak demi terwujudnya program generasi emas 2045. Hal ini lantaran masih ada banyak anak Indonesia yang ditemukan mengalami kendala kekurangan gizi, baik itu gizi buruk maupun permasalahan stunting.
“Gizi buruk pada anak adalah masalah serius yang mengancam generasi penerus bangsa. Meskipun ada perbaikan sejak beberapa tahun terakhir, upaya lebih lanjut diperlukan untuk mengatasi masalah ini,” kata Kris Dayanti dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/10/2023). Menurutnya, DPR menemukan masih cukup banyak anak-anak di berbagai daerah yang mengalami gizi buruk. Bahkan sampai kondisinya cukup memprihatinkan.
Kris Dayanti pun menyoroti adanya anak dengan gizi buruk yang baru-baru ini terungkap di Banyumas, Jawa Tengah. Seorang bocah berusia 9 tahun bernama Aldila Dwi Alfian mengalami gizi buruk sehingga tubuhnya hanya tinggal tulang berbalut kulit. Bocah yang hidup di lingkungan keluarga miskin ini tidak memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan keluarganya pun tidak termasuk dalam Program Keluarga Harapan (PKH).
Komisi IX DPR RI yang membidangi urusan kesehatan itu pun merasa prihatin atas kondisi Aldila Dwi Alfian. Kris Dayanti juga menyinggung bagaimana keluarga Aldila sampai tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. “Pemerintah pusat sudah menyiapkan program yang sangat baik. Tapi sering kali urusan pendataan di daerah kurang maksimal sehingga yang seharusnya bisa mendapat bantuan, justru malah tidak terjangkau. Ini yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Peristiwa anak mengalami gizi buruk bukan hanya terjadi di kota-kota kecil. Di ibu kota juga terindikasi masih ada anak yang mengalami kekurangan gizi akibat perekonomian keluarganya. Seperti informasi dari Kelurahan Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, di mana ditemukan 19 anak yang mengalami masalah kekurangan gizi.
Sementara itu berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta hingga Juli 2023, tercatat ada 39.793 balita yang memiliki permasalahan gizi. Kemudian menurut hasil riset Center for Indonesian Studies (CIPS), diketahui ada 21 juta masyarakat Indonesia atau setara 7 persen dari total populasi mengalami masalah kekurangan gizi yang cukup mengkhawatirkan.
Berkaca dari data tersebut, Kris Dayanti menekankan pentingnya komitmen keberlanjutan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mendata warganya yang masuk dalam kategori keluarga kurang mampu. Ia menilai, faktor ekonomi masih menjadi penyebab anak kekurangan gizi.
“Yang diperlukan komitmen dari Pemda itu bagaimana melakukan pendataan secara berkesinambungan sehingga dapat diketahui keluarga mana yang anak-anaknya berpotensi terganggu masalah gizi. Itu adalah langkah awal dalam menekan angka anak kurang gizi,” sebut Kris Dayanti.
Legislator dari Dapil Jawa Timur V ini mengingatkan, Pemerintah perlu memastikan bahwa makanan bergizi mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama, kata Kris Dayanti, bagi warga berpenghasilan rendah.
“Peningkatan program pemberian makanan tambahan atau subsidi makanan dapat membantu keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan gizi anak-anak mereka. Upaya ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan sasaran yang tepat dan efektivitasnya,” ucapnya.
Baik gizi buruk maupun stunting, lanjut Kris Dayanti, merupakan masalah serius yang memerlukan sinergitas antara Pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, penting dilakukan kampanye edukasi yang efektif, termasuk penyuluhan bagaimana pentingnya gizi seimbang, ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dan pola makan sehat.
“Jika masyarakat sadar terhadap permasalahan gizi, orang tua akan lebih berupaya dan memberi perhatian khusus pada pemenuhan nutrisi anak-anak mereka,” jelas Kris Dayanti.
Di sisi lain, Kris Dayanti menilai salah satu faktor masyarakat Indonesia kekurangan gizi adalah karena dipicu oleh restriksi alias pembatasan produksi yang diterapkan pada perdagangan pangan. Hal itu menyebabkan kerawanan pada status gizi dan asupan kalori.
Oleh karenanya, Kris Dayanti mendorong Pemerintah untuk memfokuskan pada kebijakan kedaulatan pangan. Seperti di antaranya dengan memanfaatan keanekaragaman hayati, peningkatan budidaya pertanian, dan konsistensi pelaksanaan perlindungan lahan-lahan pertanian produktif.
“Pemerintah perlu mengembangkan penelitian dan pengembangan bibit unggul di bidang pertanian, peternakan dan perikanan,” terang Kris Dayanti.
“Untuk mencapai hal itu, Pemerintah juga perlu menggandeng perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya untuk menghadirkan suatu terobosan yang akan menjaga kedaulatan pangan kita,” imbuh Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI tersebut.
Kris Dayanti menilai, pengembangan dan penelitian dalam hal kedaulatan pangan dapat dilakukan melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional bersama Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan instansi lain yang terkait.
Untuk memberi kekuatan penuh terhadap BRIN, KD pun mendorong pembangunan Pusat Data Pangan Indonesia. Dengan adanya data pangan yang terorganisir dengan baik, hal itu akan memudahkan dalam memunculkan inovasi terbarukan.
“Dengan menempatkan penguasaan ilmu pengetahuan, riset, dan inovasi sebagai prioritas melalui program-program konkret, kita bisa menentukan target pencapaian dalam jangka waktu tertentu guna mengurangi ketergantungan pangan impor,” ungkap KD.
Lebih lanjut, anggota DPR yang juga diva Indonesia itu mendorong Pemerintah untuk membuat pemetaan lahan dan regulasi khusus yang berkaitan dengan zonasi lahan subur. Menurut KD, tujuannya agar lahan pertanian subur tidak dialihfungsi-kan.
“Kami juga mendorong agar Pemerintah membentuk bank negara baru atau mengalihkan fungsi bank Pemerintah untuk mendukung para petani dan nelayan. Ini diperlukan untuk meningkatkan akses pembiayaan kepada mereka,” sebutnya.
Kris Dayanti berharap, berbagai intervensi program yang dilakukan Pemerintah dapat mengurangi permasalahan gizi buruk dan stunting. Mengingat Pemerintah juga memiliki target penurunan stunting nasional hingga di bawah 14 persen pada 2024.
Sementara berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia masih sebesar 21,6 persen. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 2,8 persen.
“Gap-nya masih terlalu jauh. Jadi kita harus cepat mengejar dengan berbagai upaya, termasuk dukungan anggaran yang oleh kami di DPR selalu diprioritaskan pada urusan stunting dan masalah gizi ini,” terang Kris Dayanti.
Kris Dayanti pun menambahkan, meningkatkan layanan kesehatan di semua tingkatan dari Posyandu hingga rumah sakit juga penting untuk diperhatikan dalam hal penanganan stunting di Indonesia. Ia juga mendukung berbagai program intervensi dari Pemerintah, di antaranya dengan memperbanyak jenis imunisasi gratis bagi anak-anak.
“Mari kita sama-sama bekerja untuk memastikan anak-anak generasi penerus bangsa dapat tumbuh berkembang dengan baik. Karena mereka adalah harapan masa depan Indonesia,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano