Berbeda dengan Polri yang ada mekanisme praperadilan sebagai langkah untuk mengkoreksi sebuah tindakan apakah telah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku atau tidak.
“Kalau polisi masih ada praperadilan, masih ada sistem pidananya untuk mengawasi mereka (polisi), tetapi kalau TNI kan tidak terikat itu,” ujar Hendardi.
Sebab menurutnya, TNI rawan melanggar HAM dalam penindakan terorisme yang dapat menimbulkan masalah baru dalam proses pencarian keadilan.
Sebagaimana diketahui, DPR secara resmi telah mengesahkan revisi UU Terorisme dalam rapat paripurna, Jum’at (25/5) kemarin.
Salah satu beleid yang baru dalam revisi ini adalah ketentuan tentang penyadapan terhadap pihak-pihak yang diduga menjadi teroris, tanpa adanya izin dari pengadilan.
Sementara itu, perbuatan yang dapat digolongkan sebagai pidana terorisme menurut UU terorisme yang baru ini antara lain
- Merekrut orang untuk jadi anggota korporasi atau organisasi terorisme.
- Sengaja mengikuti pelatihan militer atau paramiliter, baik di dalam maupun luar negeri dengan maksud merencanakan atau mempersiapkan atau melakukan serangan teror.
- Menampung atau mengirim orang terkait serangan teror.
- Mengumpulkan atau menyebarluaskan dokumen untuk digunakan dalam pelatihan teror.
- Memiliki hubungan dengan kelompok yang dengan sengaja menghasut untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Sebelum revisi ini disahkan, pemerintah telah ‘mengancam’ akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) mengenai terorisme, sebagaimana dikatakan oleh Presiden Joko Widodo saat mengunjungi lokasi serangan bom Surabaya, 8 Mei lalu.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan