Petugas memeriksa salah satu pipa di Kilang RU (Unit Pengolahan) V Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (14/4). Melalui program "Refinery Deveploment Master Plan", Pertamina akan meningkatkan kapasitas Kilang RU V dari 260 MBSD (ribu barel per hari) menjadi 360 MBSD. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/16.

Jakarta, Aktual.com – PT Pertamina (Persero) mengungkapkan untuk tetap ikut serta dalam lelang Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa I di Muara Tawar, Bekasi meskipun pasokan gas tidak akan lagi disediakan oleh pemenang tender. Dirut Pertamina Dwi Soetjipto mengaku tidak keberatan meskipun dalam proses lelang, PT PLN (Persero) mengubah skema penyediaan energi primer. Penyediaan gas sebelumnya dilakukan oleh produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) pemenang tender, namun saat ini disediakan oleh PLN.

Beberapa waktu lalu, BP Berau dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) akhirnya sepakat melakukan amandemen Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dari kilang Tangguh. Dalam amandemen tersebut, PLN memborong lebih dari setengah produksi Train 3 Tangguh.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman menilai PLN memang sekarang sangat rawan intervensi bahkan sudah merasa di atas regulator, pasalnya ada lebih Rp1.000 triliun yang jadi rebutan mafia listrik.

“Pertamina terjepit diantara para gajah-gajah di belakang peserta tender PLTGU Java 1 di Muara Tawar, Bekasi,” ujar Yusri Usman di Jakarta, Sabtu (26/6).

Sesuai Request For Proposal (RFP) dari PLN yang dibuat oleh konsultan Ernst & Young sebagai kuasa PLN untuk melelang pekerjaan PLTGU Java, dengan rencana titik serah listrik bisa dilakukan di dua titik, yaitu Muara Tawar dan Cibatu Baru (dekat dengan Cilamaya).

“Dua titik serah ini mempertimbangkan efisien pembangunan PLTGU. Peluang lokasi ini yang sangat menguntungkan bagi konsorsium Pertamina adalah bisa menggunakan Cilamaya untuk membangun PLTGU-nya, sedangkan bagi peserta yang lain bisa membangun PLTGU tersebut di dekat Muara Tawar harus dengan cara mereklamasi pantai Muara Tawar,” jelasnya.

Namun demikian, lanjutnya, reklamasi tersebut termasuk dalam biaya proyek investasi, sehingga ketentuan ini membuat peserta lain tidak akan bisa bersaing dengan Pertamina yang tentu saja akan jauh lebih murah dan lebih cepat membangunnya dibandingkan peserta yang lain.

“Pertamina akan mampu menyelesaikan CoD (commerce operation date) pada tahun 2019 atau bahkan bisa lebih cepat dari jadwal proyek, sementara pesaing yang lain seperti konsorsium Mitsubishi dan Rukun Raharja, Adaro dan Sembcorp, Medco dan Nebras dan lainnya baru mampu status komersialnya/COD paling cepat tahun 2020 dengan biaya yang jauh lebih mahal,” ungkapnya.

Keunggulan Pertamina inilah yang kemudian ditakuti oleh peserta lain sebagai kompetitornya, sehingga mereka melakukan segala cara tidak etis dengan memperalat Kementerian BUMN. Melalui salah seorang komisarisnya, memaksa Pertamina untuk mundur dari kesertaannya dalam proyek ini dari rencana batas penawaran yang dilakukan pada 25 Juli 2016.

“Adapun operasi yang dilakukan untuk menekan direksi Pertamina dimulai dengan adanya perintah lisan dari salah satu anggota Komisaris Pertamina, agar Pertamina tidak usah terlibat di bisnis power, sehingga harus mundur dari peserta tender PLTGU Java 1,” ungkapnya.

Anehnya sang komisaris tersebut menyatakan perintah itu atas arahan Menteri BUMN. Padahal Pertamina melalui keputusan BoD (Board of Director ) sudah memutuskan untuk tetap maju tender Java 1, meski RFP dari PLN direvisi ditengah jalan dengan tidak memasukkan LNG suplai sebagai kewajiban pemenang tender IPP yang dikenal dengan istilah “lockin”, tetapi energi primer gas disediakan oleh PLN dan sudah dapat jaminan suplai LNG dari Tangguh.

“Lucunya kebijakan PLN sebagai BUMN adalah untuk menutup peluang Pertamina yang bisa lebih murah menawar dalam tender PLTGU ini.  Padahal kesiapan Pertamina dalam tender PLTGU Java 1 sangat baik untuk kepentingan korporasi dan PLN lebih murah membeli listriknya dan tentu rakyat juga yang akan diuntungkan akibat efisiensi ini,” jelasnya.

Selain sudah memiliki tanah dan sudah ada, lanjutnya, juga ada jaminan suplai LNG yang lebih murah.  Sehingga tanah milik  Pertamina di Cilamaya sangat strategis untuk menjadi tempat membangun PLTGU IPP nya.

“Tidak perlu melakukan reklamasi laut di Muara Tawar, dan pekerjaan reklamasi laut di Muara Tawar itu selain akan menambah biaya juga akan memperlambat waktu COD selama setahun,” terang Yusri.

Pertamina dan mitranya Marubeni mampu melakukan COD pada tahun 2019, tetapi peserta tender lain sebagai kompetitornya baru bisa komersial/COD paling cepat pada tahun 2020.

“Arahan yang merugikan di atas, patut diduga direkayasa oleh pesaing Pertamina dalam tender Java 1 dengan ber-KKN dengan salah satu Komisaris Pertamina.  Mundurnya Pertamina dari Java 1 bukan hanya merugikan Pertamina, tetapi  juga merugikan negara, karena harus melakukan reklamasi dan keterlambatan COD 1 tahun,” jelasnya.

Melihat cara tender yang dilakukan oleh pihak PLN, rawan diintervensi kekuatan cukong ini akan membuat harga investasi dan harga beli listrik oleh PLN akan semakin mahal dan rakyat juga sebagai korban membayar tarif listrik per Kwh akan jadi mahal.

“Contohnya hal dialami PT. Bukit Asam, PLN menolak kabel HVDC agar PLTU mulut tambang PTBA tidak jadi,  tentu yang bangun adalah pihak tertentu di Jawa.  PLN bahkan berani menolak RUPTL.
Saya sangat prihatin atas kentalnya intervensi kekuasaan dalam program listrik 35.000 MW yang akan berpotensi mangkrak, sehingga Presiden Jokowi harus segera turun tangan membenahi kekisruhan ini agar publik bisa percaya bahwa program ini bukan hanya program bagi hasil sesama pendukung presiden atas balas jasa pada saat Pilpres 2014  dan persiapan Pilpres 2019,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka