Medan, Aktual.com – Koordinator Fungsi Pemilihan Project Procurement Subholding PT PGN (Persero) Tbk, Marie Siti Mariani Massie tampaknya memilih bungkam atas dugaan kejanggalan pada proses lelang Proyek EPC Terminal Regasifikasi LNG Cilacap.

Anehnya, Direktur Utama PT PGN (Persero) Tbk M Haryo Yunianto justru seakan ‘pasang badan’ dengan mengatakan proses tersebut sudah berlangsung sesuai aturan.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia, Yusri Usman kepada wartawan, Kamis (2/12/2021).

“Kita harap BPKP dan penegak hukum bergerak menelisik dugaan keanehan ini”. “Bagaimana bisa perusahaan yang mempunyai pengalaman pada pekerjaan yang jauh lebih sulit dan lebih besar nilai kontraknya, namun tidak lulus secara teknis pada lelang Proyek EPC Terminal Regasifikasi LNG Cilacap ini?” ungkap Yusri Usman.

Yusri lantas membeberkan, Proyek EPC Terminal Regasifikasi LNG Cilacap tersebut diketahui bernilai sekitar Rp 2,2 triliun. Proses lelang tersebut diketahui dari dokumen bernomor 135300/LG.01.01/PCM-PP/2021 tertanggal 6 September 2021
Ada empat konsorsium yang telah ikut lelang pada 13 Oktober 2021.

Jadi proses lelang proyek tersebut diikuti empat konsorsium yakni pertama Konsorsium PT Pembangunan Perumahan (Persero)Tbk (PT.PP) dengan Samator-SASPG (Sichuan Air Separation), kedua Konsorsium Japan Gas Contractor (JGC)- PT WASKITA Karya (Persero) Tbk, ketiga Konsorsium PT. Adhi Karya (Persero) Tbk – PT Rekayasa Industri (Rekind), dan keempat adalah Konsorsium PT Wijaya Karya (Persero) Tbk – PT Truba Jaya Engineering – PT GT Ladang Teknik.

“Nah..infonya yang lulus evaluasi administrasi dan teknis hanya Konsorsium PT Pembangunan Perumahan, Samator dan SASPG saja. Kemudian panitia melanjutkan ke tahap penyerahan harga dan evaluasi harga serta negosiasi harga, karena konsosrsium PT PP menawar di atas Harga Perkiraan Sendiri atau HPS,” ungkap Yusri.

Namun, lanjut Yusri, ada yang aneh dan mengherankan terkait proses evaluasi administarasi dan teknis. Sebab, Adhi Karya, Rekind, Wika dan JGC yang dinyatakan tidak lulus secara teknis, jusru merupakan perusahaan yang sangat berpengalaman mengerjakan pekerjaan yang jauh lebih sulit dibandingkan hanya pekerjaan pembangunan Terminal Regasifikasi LNG seperti yang di Cilacap itu.

“Perusahaan-perusahaan yang tidak lulus secara teknis itu merupakan kontraktor besar dan hebat, ada yang pernah mengerjakan pembangunan Kilang Pengolahaan LNG Tangguh Papua, ada yang pernah kilang RFCC Cilacap serta RDMP Balikpapan dan ada yang ditunjuk oleh British Petroleum (BP) untuk ekspansi Kilang LNG Tangguh Train 3 dengan total nilai proyek USD 1, 4 miliar. Wika juga ditunjuk sebagai pelaksana Central Procecing Plant (CPP) LNG Matindok, serta PT Rekind sudah pernah mengerjakan banyak proyek sejenis, mulai dari FSRU Lampung, proyek RDMP Balikpapan, RDMP Balongan dan terakhir ikut mengerjakan Dual FEED Competition Kilang Olefin TPPI Tuban,” beber Yusri.

Jadi, lanjut Yusri, entah disengaja atau kebetulan, telah terjadi proses yang terkesan hanya untuk meloloskan konsorsium PT PP.

“Hal yang sama juga mungkin terjadi juga di proses lelang pemasangan pipa gas dari Senipah ke Kilang Balikpapan bernilai sekitar Rp 1,2 triliun seperti terlihat dari dokumen lelang bernomor 180 P/PG3400/2021 tanggal 6 Agustus 2021,” kata Yusri.

“Adapun proses lelangnya dilakukan oleh anak usaha subholding PT PGN (Persero) Tbk, yaitu oleh Tim Lelang PT Pertamina Gas pada periode waktu yang hampir berdekatan.
Di sini yang diluluskan hanya konsorsium PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk – PT Wijaya Karya (Persero) Tbk – PT Elnusa (Persero) Tbk. Adapun konsorsium yang tersingkir tahap evaluasi administrasi dan teknis adalah konsorsium PT Adhi Karya ( Persero) Tbk- PT Pgasol dan konsorsium PT Pertamina Driling Contraktor- PT Waskita Karya (Persero ) Tbk,” ungkap Yusri.

Infonya, lanjut Yusri, harga penawaran konsorsium PT PP untuk proyek pemipaan ini di atas HPS (Harga Perkiraan Sendiri). Hal ini tak jauh berbeda dengan harga penawaran pada lelang Proyek Regasifikasi Terminal LNG Cilacap yang juga di atas HPS.

“Dengan tersingkirnya ketiga konsorsium itu,
PT Pertamina Gas dan PT PGN (Persero) Tbk jadi kehilangan kesempatan mendapatkan perusahaan yang justru lebih mampu dan lebih baik dalam mengerjakan proyek tersebut dengan harga yang dapat relatif lebih murah atau di bawah HPS” ujar Yusri.

Lebih lanjut Yusri membeberkan, mengingat PT PGN Tbk adalah perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki publik, seyogyanya setiap proses bisnisnya harus lebih fair, transparan dan akuntabel sesuai prinsip bisnis Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan BUMN.

Terkait kejanggalan tersebut, Yusri mengatakan CERI sebelumnya telah melayangkan surat konfirmasi kepada Koordinator Fungsi Pemilihan Project Procurement Subholding PT PGN (Persero) Tbk, Marie Siti Mariani Massie pada 29 November 2021 lalu. Namun, hingga 1 Desember 2021 pukul 16.00 WIB, Marie Siti Mariani Massie tak memberikan keterangan apa pun meski surat konfirmasi elektronik melalui Whatsapp itu sudah ia baca.

Terpisah, menurut Yusri, malah Direktur Utama PT PGN (Persero) Tbk M Haryo Yunianto yang justru memberikan keterangan kepada CERI. Dalam keterangan itu, Haryo menyatakan semua proses di fungsi procurement sesuai dengan pedoman yang ada di perusahaan, kecuali di kemudian hari terbukti adanya fraud maupun kickback kepada personel di Subholding Gas Pertamina.

Haryo mengaku, procurement Cilacap sudah berjalan sesuai pedoman di Procurement PGN dan mengenai proses lelang di Pertagas telah dinyatakan gagal tender dan saat ini sedang diproses kembali.

Haryo juga mengatakan pihaknya siap menghadapi jika ada keluhan peserta tender yang dengan resmi juga diajukan ke panitia lelang.

Mengenai hal ini, diketahui dari dokumen lelang, nilai jaminan sanggah sebesar USD 1,7 juta atau sekitar Rp 22 miliar. Menurut Yusri, nilai ini terbilang fantastis yang mengundang keanehan tersendiri tapi jelas membuat tidak ada peserta lelang yang berani mengajukan sanggah dengan nilai jaminan sebesar itu.

Jangan jangan ide ini dibawa seseorang dari SKK Migas yang menjadi direksi di PGN, keluh beberapa kontraktor yang bekerja di KKKS, papar Yusri.

Menurut Yusri, perlu dicermati apakah semua itu memang bagian dari upaya untuk memuluskan konsorsium yang dijagokan, hal yang sudah jadi perbincangan di antara para kontraktor yang resah.

*Berjumpa Kawan Lama*

“Di balik kejanggalan-kejanggalan tersebut, Tender Terminal Regasifikasi LNG Cilacap dan Pipa Gas Senipah Balikpapan baru-baru ini, terpautlah kenangan “perjumpaan dua kawan lama” kata Yusri.

Konon, berawal ketika dulu ada penugasan dari Menteri BUMN Rini Soemarno kepada beberapa BUMN untuk membantu PT Wijaya Karya (Persero) Tbk yang sedang dalam kesulitan keuangan pada tahun 2017 karena harus menyetor kewajiban sebagai pemegang saham di PT KCIC.

Kesulitan keuangan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk saat itu akibat investor Cina belum menurunkan dananya untuk Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). KCJB merupakan protek PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC).

Seperti diketahui, KCIC terdiri dari dua konsorsium. Pertama, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang berisi sejumlah perusahaan pelat merah Indonesia di dalamnya. Secara komposisi saham, PT Wijaya Karya (Persero) memiliki 38 persen, kemudian KAI 25 persen, PT Jasa Marga (Persero) Tbk. 12 persen, dan PTPN VIII 25 persen. Jadi, total saham PSBI sebesar 60 persen di KCJB. Kedua, konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. dengan kepemilikan sebesar 40 persen. Konsorsium ini terdiri atas lima perusahaan, yakni CRIC dengan saham 5 persen, CREC sebanyak 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRCC 12, dan CRSC 10,12 persen.

Singkat cerita, beberapa BUMN ditugaskan membantu kesulitan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk pada Proyek KCJB. Di antaranya BUMN yang ditugaskan yaitu PT Telkom ( Persero) Tbk, PT Pelindo (Persero) II dan PT Pertamina (Persero), dan PT Pertamina. Namun, ternyata hanya PT Pertamina yang bisa menalanginya.

Munculnya opsi skenario PT Pertamina (Persero) membantu PT Wijaya Karya dengan jumlah sekitar RP 1,7 triliun melalui mekanisme pembelian aset PT Wijaya Karya oleh anak usaha PT Pertamina, adalah dari PT Patra Jasa.

Ketika proses transaksi mulai dijalankan, saat itu Dirut PT Patra Jasa dijabat M Haryo Yunianto dan Noval Arsyad kala itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Wika Gedung Tbk .

Hubungan Haryo dengan Novel Arsyad kemudian semakin akrab setelah Patra Jasa mengakuisisi dua unit apartemen WIKA di Bekasi dan Yogyakarta. Kemudian berlanjut dengan Pertamina mempercayakan kepada PT Wika untuk membangun Gedung Pertamina Wiperti.

Ketika penunjukan itu, M Haryo Yunanto sudah menduduki Direktur Aset Pertamina dan Noval Arsyad sebagai Direktur Utama PT Wijaya Karya Gedung Tbk.

Hubungan baik yang sudah lama itu semakin mesra ketika Novel Arsyad dianggkat menjadi Dirut PT Pembangunan Perumahan (PP) oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan M Haryo Yunianto diangkat menajdi Dirut PT PGN (Persero) Tbk.

Mereka lantas kemudian bertemu kembali di proyek Regasifikasi Terminal LNG yang bernilai Rp 2,2 triliun dan pipa gas Senipah Balikpapan bernilai Rp 1, 2 triliun.

Kejanggalan temuan CERI tersebut muncul kala keduanya sama-sama menjabat. Pasalnya, dari empat konsorsium yang mengikuti lelang, panitia lelang hanya meloloskan konsorsium PT PP – Samator – SASG.

“Sejarah dan kondisi yang muncul ini sejak awal memunculkan bisik-bisik kecurigaan di kalangan perusahaan jasa konstruksi, bahkan mereka sudah dapat memprediksi bagaimana hasil lelang tersebut dan ternyata terbukti” pungkas Yusri.(*)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin