Jakarta, Aktual.com – Buku ‘Bocah Kebon Dari Deli’ yang berisi perjalanan hidup Prof. Dr. Supandi, SH, M.Hum dipenuhi kisah-kisah seru dan menarik. Buku yang beredar di toko buku Gramedia itu seperti bak kisah novel, dengan banyak epos perjalanan sejarah dan lika liku kehidupan yang penuh inspirasi. Salah satunya kisah ketika Prof Supandi bergabung dalam Tim SAR menyelamatkan korban pesawat jatuh di kaki Gubung Sibayak tahun 1981 lalu.
Kala itu Prof. Supandi masih bekerja di Perhubungan Udara di Medan, Sumatera Utara. Suatu ketika, pesawat Fokker 28 menabrak gunung dan hancur. Supandi diminta oleh kantornya untuk bergabung dengan Tim SAR menyelamatkan korban pesawat jatuh tersebut.
Untungnya dia dibekali kemampuan dari Pramuka yang diikutinya sejak kecil. Tapi kisah menari berlangsung tatkala upaya penyelamatan dilakukan. Supandi dan Tim SAR mendaki gunung itu di malam hari. Keseruan dan lika-liku tragedi pun berlangsung penuh dramatik.
Berikut cuplikan kisah tersebut, seperti yang tertuang dalam buku ‘Bocah Kebon Dari Deli’ yang diterbitkan oleh penerbit Mahkamah.
“Waktu itu ada kecelakaan pesawat Fokker 28. Pesawat itu menabrak gunung di kawasan Tanah Karo, Sumatera Utara. Tim SAR diturunkan. Tim terdiri dari gabungan pasukan Brimob, Paskhas dan dari Perhubungan Udara juga. Saya yang diminta untuk turun bergabung dengan Tim SAR itu.
Saya pun bergabung dengan Tim SAR dalam misi penyelamatan pesawat yang jatuh. Jam 3 malam dalam suasana yang gelap, berada ditengah hutan, hanya berpegangan bambu. Kami menaiki gunung tempat lokasi pesawat itu jatuh. Ini harus sesegera mungkin, karena mengantisipasi jika saja ada korban yang masih bisa diselamatkan. Makanya pendakian pun dilakukan malam hari. kita pun berjalan mendaki. Menaiki gunung. Jalan hanya setapak. Hanya berpegangan bambu saja. Ternyata pada saat siang hari, kita lihat di samping jalan itu jurang yang sangat dalam. Bayangkan saja jika terpeleset sedikit saja, bisa jadi hasilnya akan lain. Tapi karena malam hari, jurang yang dalam itu tak kelihatan.
Pesawat yang jatuh jenis Fokker 28. Awak pilotnya bernama Kapten Lontoh. Di dalamnya juga ada Mayor angkatan udara sekeluarga meninggal semua. Pesawat Fokker 28 itu jatuh di kaki pegunungan Pertekteken, Raja Berneh, Gunung Sibayak, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Kami berjalan beriringan menuju lokasi jatuhnya pesawat. Dengan menaiki bukit yang terjal. Malam gelap gulita. Kami diiringi oleh seorang Kepala Desa setempat. Saya berjalan perlahan. Kami hanya berpegangan pada batang bambu.
Mendadak, hanya selang tiga meter di depan, saya melihat ada seekor ular tengah tegak degan ekor di bawah seperti tongkat. Mulutnya menganga. Ular itu seolah hendak makan. Dia mencegat kami. Saya melihatnya terang. Ular itu seolah antara kepala dan ekornya sama besarnya. Dia menengadahkan kepalanya. Lalu saya terkaget. Saya beritahu pada si Kepala Desa itu. Karena dia orang setempat. Namanya Lipat Bangun.
“Pak, itu ada ular ya, Pak?” kata saya
“Oh iya. Wah Nak ku bisa nampak ya,” katanya.
Alhasil dia memberi instruksi pada seluruh TIM SAR. Dia bilang supaya kita berhenti dulu disini. Lalu dia menggunakan handy talky, berbicara dengan menggunakan bahasa Karo. Saya agak mengerti sedikit. Intinya dia meminta bantuan dari Desa. Bala bantuan atas kendala yang dihadapi. Saya pikir, bala bantuan itu berupa tim lain yang akan ikut membantu misi kami sebagai Tim SAR.
Selam sejam kemudian, “bantuan” yang diminta Kepala Desa itu pun tiba. Ternyata “bantuan” itu bukan seperti yang saya kira. Selang sejam itu, seorang nenek tua naik dengan kakinya dilipat satu. Dia berjalan engklek dengan sandal jepitnya. Saya agak kaget, bagaimana nenek tua ini bisa naik ke bukit dengan mudahnya. Sementara kami saja harus berpegangan kuat untuk bisa menaiki bukit itu.
Kami menyebutnya nenek itu sebagai ‘Nande’. Dia mudah saja naik ke atas bukit. Lalu Nande itu menebarkan beras yang telah dibawanya dari bawah. Lalu rokok diberikan, yang telah diselipkan di atas batang kayu. Nande itu tak lama kemudian menari-nari. Seperti melakukan ritual khusus. Persis di depan lokasi ular itu kami temukan.
Tak lama kemudian, setelah melakukan ritual itu, Nande itu pun mengucapkan sesuatu.
“Anakku, kita ini lagi dikepung oleh seekor naga besar,” katanya.
“Mana naganya, Nande,” tanya seseorang.
Anakku tak bisa melihat (ular) naganya. Naganya ekornya di sana dan kepalanya ada di sana,” katanya sembari tangannya memberi tunjuk dimana arah ekor dan kepala dari naga tersebut.
“Jadi kita harus bagaimana, Nande?”
“Udah jangan naik dulu, karena ada bahaya di atas,” ujarnya.
Ternyata memang entah kebetulan atau bukan, tak lama kemudian badai memang datang dengan derasnya dari atas bukit. Batu-batu besar berjatuhan. Bahkan sampai turun menimpa sawah-sawah penduduk. Jadi saya berpikiran bahwa ular tadi yang menganga, mencegat perjalanan kami, merupakan tanda dari alam bahwa kami harus berhenti. Ular tadi justru bermaksud baik, memberikan peringatan tentang adanya bahaya dan badai yang akan segera datang.
Nande itu pun berkata lagi.
“Yang kalian cari tak ada bisa di dapat sekarang malam ini, besok baru bisa kalian dapat,” katanya.
“Lha memangnya kemana kotak hitam itu, Nande?” tanya salah seorang tim SAR.
“Kotak itu lagi disimpan sama Naga itu, besok jam 11 siang baru bisa kalian dapat kotak itu,” katanya tegas.
Kami pun beristirahat malam itu. Besok pagi baru kami menaiki bukit itu lagi sampai puncak titik dimana pesawat itu menabrak gunung. Kami pun beristirahat di atas gunung. Dingin sekali. Banyak yang kalang kabut menghadapi suasana udara yang dingin. Disinilah saya merasakan keterampilan yang didapat dari masa Pramuka dulu, sangat berguna sekali. Saya mengatasi suasana dingin di gunung itu dengan menggunakan plastik. Badan saya bungkus plastik. Maka langsung hangat seketika. Ini trik yang di dapat kala Pramuka. Kini sangat berguna.
Ternyata gunung itu berlubang hingga 2 meter dalamnya karena benturan dengan pesawat itu. Lalu kami masuk ke lokasi itu. pecahan ekor pesawat itu terpelanting hingga ke puncak gunung yang satunya lagi, saking kerasnya benturan. Jadi pesawat itu hancur berkeping-keping. Tak ada yang selamat dari peristiwa naas itu. semua penumpang dan awak pesawat dinyatakan meninggal dunia.
Puncak gunung itu agak berpasir. Kami pun mencari kotak hitam pesawat. Kami mencari-carinya ke sana kemari. Ada yang menggunakan cangkul, ganco dan lainnya. Dan ternyata, tepat pukul 10.55 WIB, ada seseorang awak Tim SAR menggunakan ganco, dia mencangkul tanah berpasir di puncak gunung itu. Mendadak ganconya mengenai sebuah benda yang keras. Ternyata ganconya mengenai kotak berwarna oranye. Jadi waktu diketemukannya berdekatan seperti yang dikatakan Nande itu malam tadi.
Kami kemudian membawa kotak hitam itu ke bawah. Lalu pekerjaan lainnya adalah mengevakuasi jenazah yang masih bisa di bawa. Untuk kemudian dikembalikan kepada keluarganya. Itulah semangat rela berkorban untuk orang lain. Semangat kejujuran ini membimbing kita dalam tugas-tugas kemanusiaan seperti itu.
Tapi ada satu yang mengganjal perasaan saya. Sebagai bagian dari TIM SAR, saya melihat ada sebongkah paha manusia tersangkut di atas pohon. Sudah terpisah dari badannya. Tapi lokasinya sangat jauh dari jangkauan. Untuk mengambilnya, harus turun ke bawah dulu, baru kemudian naik lagi. Jadi sangat jauh sekali. Entah mengapa saya bisa melihat paha tersebut yang tersangkut. Saya pun agak putus asa untuk bisa mencapainya. Karena kemudian operasi penyelamatan telah ditutup. Semua petugas SAR telah kembali ke rumah dan kantor masing-masing.
Saya pun kembali ke rumah. Begitu sampai Pancur Batu, ternyata baju dan pakaian kita terasa bau bangkai. Padahal waktu di atas tidak terasa bau bangkai. Saya pun segera ganti baju. Sampai dirumah membersihkan diri. Mandi sampai bersih. saya masih kisaran umur 28 tahun. Saya pun beristirahat. Tapi saya agak susah tidur. Saya masih kepikiran tentang paha yang tersangkut di pohon tadi, yang tak bisa terambil untuk di evakuasi. Saat itulah, dalam kondisi tidur-tiduran, dalam kondisi antara tidur dan tidak, saya melihat badan saya tergeletak. Lalu saya naik ke atas, melewati rumah saya. Lalu saya secara reflek, bergerak menuju lokasi pohon yang ada paha tadi. Kemudian saya bisa memegang pohon itu. Dan setelah berhasil memegangnya, saya seperti ingin segera kembali. “Pulang…pulang…pulang….” begitu dalam bisikan saya. Saya takut tak bisa kembali ke badan saya yang lagi dirumah itu.
Entah berapa lama kemudian, saya pun terbangun. Seperti orang yang keluar dari air. Saya merasa lega. Seperti orang yang baru berenang di air. Ini memang penuh pengalaman batin. Bukan karena saya belajar ilmu kebatinan. Bukan itu. Tapi ini realitas yang saya alami. Ini buah dari pekerjaan yang saya lakukan belum tuntas untuk menyelamatkan bagian tubuh orang itu.
Energi seperti inilah yang tak bisa saya lawan. Malah terbawa terus dalam karir saya sebagai Hakim di kemudian hari. Bahkan ketika saya merasa “bersalah” dalam memutus orang yang tak wajar, dalam kasus narkoba ketika bertugas sebagai Hakim di PN Kuala Simpang, membuat saya muntah-muntah. Karena memang proses criminal justice sistem kita yang telah berlangsung seperti itu, ditambah rasa kecurigaan besar masyarakat pada dunia peradilan, membuat terkadang hakim mengalami dilema. Dan energi itu yang saya rasakan, hingga saya sempat ingin mengundurkan diri sebagai hakim. Tapi kemudian saya hijrah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Perjalanan ini pun terus berlanjut.”
Memang banyak kisah seru lain yang tertuang dalam ‘Buku Bocah Kebon Dari Deli”. Buku tersebut bukan sekedar buku biografi biasa. Karena ditulis dengan gaya Bahasa yang enak dibaca. Bak membaca kisah novel. Ditambah lika liku perjalan hidup Prof. Supandi, Ketua Muda kamar Tata Usaha Negara (TUN) di Mahkamah Agung itu memang luar biasa menarik. “Buku itu memberikan pemahaman tentang bagaimana ‘takdir’ bekerja,” kata Irawan Santoso, penulis buku ‘Bocah Kebon Dari Deli”.
Artikel ini ditulis oleh:
A. Hilmi