Aktivis dari Solidaritas untuk Pergerakan Aktivis Indonesia (Suropati) menggelar aksi unjuk rasa di halaman kantor Freeport, Plaza 89 Kuningan, Jakarta, Rabu (26/11). Mereka menuntut agar pemerintah tidak memperpanjang kontrak dengan Freeport. Dimana Freeport yang dipimpin James R. Moffett tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Minerba. AKTUAL/TINO OKTAVIANO
Faizal Rizki Arief
Faizal Rizki Arief

Jakarta, Aktual.com — Kejadiannya mirip, atau mungkin berulang. Pada 15 Januari 1998, dengan kedua tangan terlipat, Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus melihat (mungkin ingin memastikan) Soeharto sudah benar meneken Letter of Intent (LoI) yang sudah dirancang Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) sebelumnya.

Kejadian yang sama juga diterima Soeharto pada 1967. John D Rockefeller Jr saat itu juga menyiapkan sebuah draf undang- undang (UU) untuk ditandatangani Soeharto. Presiden Indonesia ke dua ini juga dipaksa untuk membubuhkan tanda tangan di beberapa carik kertas UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

John D Rockefeller Jr adalah putra John D Rockefeller Sr. Sang ayah merupakan industriawan terkaya sepanjang sejarah, sekaligus filantrofis terbesar dunia. Kebesaran dan kesuksesan Standard Oil adalah salah satu bukti nyata kesuksesannya.

Nama John D Rockefeller Sr juga tak bisa lepas dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tanpa sumbangan Rockefeller Foundation mungkin PBB tidak akan pernah ada. Bahkan, dana operasi awal sampai tanah tempat markas PBB berpijak adalah sumbangan dari Rockefeller Foundation. Konon, sepanjang hidupnya John telah menyumbangkan seluruh harta kekayaannya dan menyisakan USD 25 juta untuk dirinya sendiri.

Di Indonesia, Yayasan Rockefeller pernah banyak berkiprah pada dekade 1970 dan 1980-an melalui program pemberian beasiswa bagi dosen dan peneliti lembaga- lembaga pendidikan/penelitian milik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan. Yayasan ini juga terkenal karena membantu pelaksanaan Revolusi Hijau (termasuk di Indonesia) dan sejumlah program pemberantasan penyakit menular.

Bicara soal UU No 1/1967 tentang PMA, dalam sejarah, ini adalah UU pertama negara bangsa ini yang berhubungan langsung dengan perusahaan asing. Perusahaan asing itu bernama Freeport Sulphur, sebelum berganti nama menjadi Freeport McMoRan Copper & Gold Inc. Kontrak pertambangan dengan Freeport itu juga yang pertama kali menandai kontrak yang menguntungkan perusahaan asing. Maklum, ketika Soekarno masih pejabat presiden, kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia.

Tandatangan Soeharto di UU No 1/1967 itu bukan momen kilat. Ada cerita panjang kenapa Soeharto tandatangan di UU itu. Kisahnya bermula pada 1936. Seorang Prancis bernama Jean Jaques Dozy menulis sebuah laporan penelitian, tepatnya mungkin sebuah catatan perjalanan ilmiah di Gunung Esberg, Papua Barat. Catatan Dozy ini tersimpan lama di perpustakaan Belanda sebelum seorang Belanda, Direktur Pelaksana East Borneo Company Jan van Gruisen menemukan dan melahap habis isi laporan itu.

Gruisen mendiskripsikan laporan Dozy soal Gunung Esberg di Papua Barat itu sebagai sebuah temuan yang sangat luar biasa. Dozy bercerita tentang keindahan dan kekayaan alam Papua Barat yang sangat indah dan melimpah. Khusus untuk Gunung Esberg, Dozy menggambarkan bahwa ada bijih tembaga yang bisa langsung dipungut dari permukaan tanah di gunung itu, tanpa harus menggalinya.

Cerita Gruisen itu didengar oleh pengusaha tambang kaya asal Amerika Serikat, Forbes Wilson. Rupanya dia tertarik dengan cerita itu. Sebab, saat itu, Wilson lagi kelimpungan akibat ulah Fidel Castro yang menasionalisasi perusahaan asing yang ada di Kuba. Freeport Sulphur, perusahannya yang sudah siap menghasilkan nikel di sana gagal jadi tambang uangnya. Tak salah kalau dia tertarik dengan cerita tembaga yang hanya tinggal pungut di Gunung Grasberg.

Lisa Pease menulis cukup apik soal Forbes Wilson ini dalam sebuah tulisan berjudul “John F Kennedy, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur“. Dalam tulisan itu dikisahkan, pada 1959 (ketika Belanda masih menduduki Papua Barat) akhirnya Wilson menemui Gruisen.
Singkat cerita, akhirnya Wilson memutuskan untuk melakukan survei lanjutan dengan menggunakan dasar laporan survei awal yang dilakukan Dozy. Dan memang Wilson menemukan ‘harta karun terpendam’ di Gunung Esberg. Bukan hanya tembaga, Wilson juga menemukan bijih emas dan perak di sana.

Tanpa menunggu waktu, pada Februari 1960, Wilson atas nama Freeport Sulphur dan Jan van Gruisen atas nama East Borneo Company melakukan nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) untuk bekerja sama mengambil bijih tembaga di sana. Spekulasi Wilson saat itu, Gunung Grasberg akan jadi pengganti kerugian Freeport Sulphur di Kuba.

Rupanya langkah Freeport Sulphur masuk Papua tidak semulus yang diduga Wilson. Papua saat itu masih menjadi masalah politik internasional. Sejak 1954, Soekarno sebenarnya sudah membawa masalah Papua Barat ini ke PBB. Langkah diplomasi Indonesia ini selalu gagal karena AS selalu berpihak ke Belanda atas pendudukannya di Papua Barat. Soekarno lantas hilang kesabaran.

Akhirnya, Sukarno memanfaatkan ketegangan Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Soviet. Seraya memutuskan diplomasi dengan Belanda pada Agustus 1960, Indonesia juga membeli persenjataan militer secara besar-besaran dari sejumlah negara Blok Timur untuk menekan AS.

“Harapan lenyap, kesabaran hilang, bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap kami,” kata Soekarno saat itu.

Sejarah saat itu mencatat, Indonesia membeli peralatan perang besar-besaran dari Uni Sovyet, Italia, Jerman Barat, dan Yugoslavia. Langkah ini membuat Indonesia menjadi negara yang paling diperhitungkan di kawasan Asia.

Sekadar catatan, saat itu Indonesia punya 41 helikopter MI-4; 9 helikopter MI-6; 30 pesawat jet MIG-15; 49 pesawat buru sergap MIG-17; 10 pesawat buru sergap MIG-19; dan 20 pesawat pemburu supersonik MIG-21.

Itu belum tercatat 12 kapal selam kelas Whiskey; puluhan korvet dan satu buah kapal penjelajah kelas Sverdlov (sekarang KRI Irian); kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat; 22 pesawat pembom ringan Iliyushin IL-28; 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16; dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel.

Ada juga 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14; 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B;dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules. Langkah Soekarno kali ini membuat John Fitzgerald ‘Jack’ Kennedy, presiden AS ke-35, agak gentar.

Proses diplomasi Indonesia di PBB selama delapan tahun berturut-turut yang selalu gagal akibat intervensi AS akhirnya mulai mendapat angin. Kennedy mulai longgar melihat masalah Papua Barat.

Situasi ini membuat Wilson kembali limbung. Di matanya, Kennedy yang dulunya bisa diandalkan untuk mem-backup MoU-nya dengan Gruisen ternyata kini lebih condong untuk membela Soekarno. Apalagi akhirnya, Kennedy memutuskan untuk meminta Belanda keluar dari Papua Barat.

Kemarahan Wilson memuncak. Ketika MoU nya dengan East Borneo Company ternyata ikut bubar bersama hengkangnya Belanda dari Papua Barat. Saat itulah, Freeport Sulphur memutuskan untuk ikut ‘berpolitik’ untuk mendapatkan akses ekonominya kembali.

Ketika Kennedy yang tewas ditembak pada November 1963 dan diganti oleh Presiden Lyndon Baines Johnson pada 1964, tercatat salah satu direktur Freeport saat itu, Augustus C.Long, adalah tokoh penting di balik keberhasilan pemilihan dan kampanye Presiden Johnson.

Lisa Pease cukup detail menggambarkan peran Augustus C Long ini. Lisa mencatat, di samping direktur di Freeport Sulphur, Long ternyata punya saham besar di perusahaan Texaco yang saat itu ternyata juga mengoperasikan perusahaan Caltex yang joint dengan Standard Oil of California untuk eksplorasi minyak di Indonesia.

Bisa dibayangkan, betapa kesalnya Long ketika Soekarno pada 1961 secara sepihak membuat kebijakan baru bahwa dalam kontrak tambang minyak, 60% labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex yang saat itu adalah operator minyak terbesar di Indonesia sangat terpukul.

Long yakin, agar bisnis Freeport dan Caltex bisa kembali lagi ke tangannya, maka satu-satunya jalan adalah Soekarno harus jatuh. Dan Lisa Pease juga mencatat bahwa pada Maret 1965, setelah Long pensiun dari Freeport dan Caltex, dia diangkat sebagai direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan bank milik Rockefeller. Ini posisi yang sangat strategis, karena ini berkenaan dengan pengaturan dana-dana politik AS saat itu.

Lalu yang lebih mengejutkan lagi, empat bulan kemudian, pada Augustus 1965, Long diangkat Presiden AS untuk dijadikan dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Long dianggap punya pengaruh besar dalam operasi-operasi rahasia plus pendanaannya di negara-negara tertentu, termasuk Indonesia.

Meskipun penuh kontroversi, Long juga dianggap berperan dalam lingkaran besar skenario kudeta Soekarno oleh Soeharto. Kesuksesan kudeta dan bantuan pinjaman uang dari AS buat Indonesia pasaca kudeta itu bukan bantuan gratis. Soeharto harus membayar dengan bentuk lain.

Tak salah kalau ada spekulasi bahwa Long adalah tokoh penting di balik Rockefeller yang memaksa Soeharto menandatangani kontrak karya baru Freeport dengan Indonesia pada 1969 sebagai balas jasa mendukung Soeharto sebagai presiden Indonesia.

Mulai saat itu, cerita dan episode soal Papua Barat dan Freeport terus berlanjut hingga kini.

Ini sekadar catatan sejarah bahwa akar masalah Papua Barat saat ini bukan soal kemerdekaan Papua atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bukan soal MKD atau Setya Novanto vs Sudirman Said. Tapi kepentingan Freeport, dan AS atas apa yang terkandung di Gunung Grasberg. Bahkan, melihat perjalanan zaman, persoalan Freeport dan Papua menjadi persoalan kepentingan neokolonialisme baru AS dan sekutunya di Indonesia secara keseluruhan. Bukan hanya di Papua saja.