Chatib Basri. (ilustrasi/aktual,com)

Jakarta, Aktual.com – Permasalahan pemerintah di bidang ekonomi hingga saat ini belum juga terselesaikan, terutama dari sisi fiskal. Sehingga, kendati pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, tapi tetap tak mampu menciptakan struktur perekonomian yang kokoh.

Menurut pengamat ekonomi yang juga mantan Menteri Keuangan di era Susilo Bambang Yudhoyono, Chatib Basri, pemerintah saat ini masih memiliki ‘pekerjaan rumah/PR’ yang belum terselesaikan.

“Padahal, jika masalah itu teratasi, maka maka pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari saat ini. Salah satu PR-nya harus bisa menciptakan struktur ekonomi yang kokoh,” tandas Chatib saat acara UOB Bank, di Kempinsky, Jakarta, Rabu (16/11).

Sejauh ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih di angka 5%. Di kuartal III-2016 lalu sebesar 5,02% dan di kuartal II-2016 di angka 5,18%. Hingga akhir tahun secara akumulasi bisa capai 5%-an.

“Padahal, kita memiliki potensi yang lebih besar lagi. Jika potensi itu dikelola dengan baik, maka ekonomi Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya,” tegas Chatib.

Cuma masalahnya, karena struktur ekonomi dalam negeri masih belum kuat, maka Indonesia tak bisa lepas dari ketergantungan ekspor bahan komoditas. Dengan demikian, ketika global melemah seperti saat ini, ekspor komoditas langsung menurun.

“Jadi PR-nya kurang lebih sama, struktur ekonominya sama. Indonesia itu negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi dibandingkan dengan negara lain yang mengandalkan natural resources,” terang dia.

Dengan kondisi saat ini, kata dia, ekonomi Indonesia telah bertumbuh lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Termasuk Vietnam dan Filipina.

Dirinya justru meminta, agar ekonomi Indonesia bukan lagi dihadap-hadapkan dengan emerging market, melainkan dengan dengan beberapa negara maju

“Karena PDB kuta sudah tinggi. Jadi perlu dibandingkan dengan Australia dan lainnya. Dan tidak fair jika Indonesia selalu dibandingkan dengan Vietnam dan Filipina, karena mereka ada manufaktur,” tutur dia.

Dia kembali menambahkan, terkait kondisi global, kata dia, pengaruh dari Trump Effect yang perlu diwaspadai adalah masalah ekspansi fiskalnya. Kemudian juga terkait dengan kebijakan kenaikan suku bunga The Fed atau Fed fund rate, perlu perhatian ekstra.

Pasalnya, kemungkinan di Desember nanti akan ada kenaikan. “Saya melihat the Fed unlikely untuk menaikkan suku bunga di Desember nanti. Tapi kalau Trump betul-betul menjalankan ekspansi fiskal, mau apa lagi? Pasti dinaikkan juga,” terangnya.

Kebijakan ekspansi fiskal itu, kata dia, dengan memotong pajak dan meningkatkan belanja, defisit anggaran meningkat dan dibiayai obligasi.

“Sehingga dengan obligasi meningkat akan membuat medium term, maka suku bunga pasti meningkat,” papar Chatib.

Selain itu, belum pulihnya ekonomi regional seperti Eropa dan Asia Timur seperti Jepang dan China, juga masih menjadi ancaman bagi perekonomian nasional.

Makanya, kata dia, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada sektor domestik. Salah satunya adalah dengan tidak selalu bergantung pada ekspor komoditas.

“Negara di Eropa itu masih menjalankan negative interest rate, Jepang juga sebesar -0,12%. Jadi tidak ada tempat yang lebih baik di antara tempat yang buruk sekarang ini,” pungkas Chatib.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka