Jakarta, Aktual.com – Center of Human dan Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta menyebut industri rokok termasuk ke dalam industri yang serakahnomics karena mengeksploitasi konsumen yang sudah kecanduan akan rokok.
“Industri rokok termasuk ke industri yang serakahnomics juga karena mengeksploitasi konsumen yang sudah kecanduan. Konsumen dikunci untuk terus membeli, lalu menangkap kelompok rentan mulai dari anak kecil, anak muda. Bahkan, saya pernah menemukan di Desa Kotawaringin (Bangka, Bangka Belitung) itu kepala desanya menemukan ada anak umur 10 tahun sudah merokok,” kata Ketua CHED ITB-AD Roosita Meilani Dewi dalam diskusi di ANTARA Heritage Center, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
Ia menyebutkan, keserakahan dari para pelaku industri rokok tersebut bahkan sudah dalam taraf memindahkan beban biaya ke masyarakat, utamanya beban biaya akibat berbagai penyakit yang ditimbulkan akibat rokok.
“Bahkan, saat ini perempuan juga menjadi target dari industri tersebut. Keserakahan ini memindahkan beban biaya ke masyarakat, beban kesehatan seperti sakit jantung, kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), banyak sekali yang beban biaya kesehatannya mereka tidak tahu,” paparnya.
Roosita juga mengemukakan, akibat perilaku merokok, Indonesia juga mengalami kerugian produktivitas hingga kerusakan lingkungan karena sisa puntung rokok yang tidak bisa terurai atau didaur ulang.
“Kita ini sedang mengalami kerugian produktivitas, jadi di Indonesia produktivitasnya menurun akibat perilaku merokok. Selain itu, risiko kerusakan lingkungan juga tentu meningkat akibat asap atau puntung bekas rokok,” ujar dia.
Menurut Roosita, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan juga harus mulai tidak menormalisasi perilaku-perilaku dari industri rokok yang terus melobi dengan menyisihkan keuntungan hasil cukai untuk pembangunan kesehatan.
“Misalnya hasil keuntungan dari industri rokok dibuat untuk membangun rumah sakit oleh industri tersebut, itu kan tidak boleh. Serahkan hasil keuntungannya pada negara, agar negara yang menentukan akan digunakan untuk apa,” tuturnya.
Namun, kata Roosita, penerimaan pendapatan negara dari cukai rokok, yang seharusnya digunakan untuk mengendalikan dampak negatifnya, dinilai belum proporsional. Saat ini, hanya 3 persen dari total penerimaan yang dialokasikan ke daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk program pengendalian tembakau,
“Sementara 97 persen sisanya dikelola oleh pemerintah pusat yang tidak cukup transparan ke publik untuk alokasinya. Kita tidak pernah tahu 97 persen penerimaan negara dari cukai rokok itu untuk apa saja,” ungkapnya.
Prioritas Kenaikan Pajak dan Cukai
Di tengah banyaknya demonstrasi di daerah yang menentang kenaikan pajak, menurut Roosita, seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan kenaikan cukai rokok. Cukai rokok dianggap lebih relevan untuk dinaikkan karena jelas menimbulkan eksternalitas negatif, yaitu dampak buruk bagi masyarakat luas.
Bahkan, katanya, teori cukai ini bahkan sudah dikembangkan oleh ulama Muslim Ibnu Khaldun, yang menyatakan bahwa saat terjadi kelangkaan penerimaan, cukai adalah instrumen yang tepat untuk dinaikkan, bukan pajak. Selain itu, penyederhanaan tarif cukai pada produk tembakau akan mempermudah proses pemantauan untuk menekan peredaran rokok ilegal
“Kita perlu melihat dibalik kontribusi nyata yang dilakukan industri, kita perlu sadar full-cost yang ditanggung pemerintah. Sehingga, kebijakan – kebijakan pemerintah harus berpihak pada KTR, Iklan dan program pengendalian tembakau lainnya. Kondisi ini menjadi bagian dari mengoreksi kegagalan yang terjadi di pasar,” pungkasnya.
Diketahui, dalam pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan delapan agenda prioritas untuk mewujudkan ekonomi yang tangguh dan sejahtera. Salah satu agenda utama adalah Kesehatan Berkualitas yang Adil dan Merata, dengan alokasi anggaran kesehatan tahun 2026 yang mencapai Rp244 triliun.
Angka ini merupakan peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, mulai dari Rp188,1 triliun (2022) hingga proyeksi Rp210,6 triliun (2025). Anggaran ini bertujuan untuk memperkuat fasilitas dan layanan kesehatan, termasuk program Cek Kesehatan Gratis bagi 130,3 juta peserta dan penanganan Tuberkulosis (TBC) dengan alokasi Rp2 triliun.
Meskipun pemerintah berupaya meningkatkan kualitas kesehatan melalui anggaran yang besar, terdapat kontradiksi dalam kebijakan fiskal terkait tembakau. Pemerintah menargetkan penerimaan negara sebesar Rp3.147,7 triliun pada 2026, yang sebagian besar ditopang oleh penerimaan pajak, termasuk cukai.
Namun, data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, beban biaya kesehatan yang dikeluarkan negara untuk menanggung penyakit akibat merokok jauh lebih besar daripada penerimaan pajak dan cukai yang didapat dari industri tembakau.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















