Sebagaimana sudah diduga banyak kalangan pemerhati politik internasional maupun geopolitik, persekutuan empat negara adikuasa yang dikenal dengan sebutan Quad, telah mendorong Cina dan Rusia untuk mengkonsolidasikan kekuatan pertahanannya.
Sabtu ini (16/06), Cina menggelar pertemuan Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Kota Qingdao, yang terletak di Cina sebelah timur, untuk membahas keamanan dan kerja sama ekonomi.
SCO yang didirikan pada 2001 lalu, pada awalnya merupakan blok perdagangan, namun pada perkembangannya meluaskan lingkup kerjasamanya di bidang kerjasama pertahanan dan keamanan. Dan yang lebih strategis lagi, SCO sejatinya merupakan aliansi strategis Cina_Rusia untuk menggalang kerjasama degnan negara-negara di kawasan Asia Tenggah. Seperti Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, dan Uzbekistan. Negara-negara dari kawasan Asia Tengah ini dulunya tergabung dalam Uni Soviet atau yang sekarang kita kenal sebagai Republik Federasi Rusia. Selain itu bergabung juga dalam SCO adalah India dan Pakistan.
Menariknya lagi, dalam pertemuan puncak negara-negara SCO ke-18 kali ini, juga hadi beberapa negara Asia seperti negara Asia sebagai peninjau yaitu Afghanistan, Belarusia, Iran dan Mongolia.
Tentu saja kehadiran Iran meski hanya sebagai peninjau di forum SCO, memberi pengaruh tersendiri dalam foirum KTT negara-negara SCO ini. Mengingat semakin menajammnya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik maupun antara AS versus Rusia di Timur Tengah, maka Iran yang dipandang sebagai sekutu strategis Cina dan Rusia, kehadirannya di forum SCO semakin memperkuat adanya tren hidupnya kembali polarisasi dua kutub alias Bipolar seperti di era Perang Dingin.
Apalagi AS dan sekutu-sekutu blok Barat seperti Australia, Jepang, dan India, secara jelas menggambarkan keberadaan persekutuan empat negara Quad dan konsepsi Indopasifik dimaksudkan untuk penggalangan kekuatan membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. Apalagi dalam skema persekutuan Indopasifik yang di permukaan merupakan gagasan India dan Jepang, Jepang kemudian mengajukan rencana Pembangunan Infrastruktur Regional Bersama untuk menyaingi skema One Belt One Road (OBOR) Cina.
Dalam konstelasi semacam ini, pertemuan tingkat tinggi SCO ke-18 kali ini nampaknya akan dijadikan sarana bagi Cina dan Rusia untuk mengkonsolidasikan kekuatannya sebagai respons terhadap persekutuan empat negara Quad.
Indikasi ke arah peningkatan persekutuan strategi Cina-Rusia-Iran, semakin nampak jelas ketika Presiden Iran Hassan Rouhani mengadakan pertemuan mengadakan rapat tersendiri dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela pertemuan puncak tersebut, untuk membahas soal penyelesaian konflik di Suriah dan Perjanjian Nuklir Iran. Dua persoalan krusial yang selama ini jadi pemicu ketegangan antara Iran dengan AS.
Dalam dokumen Kebijakan Strategis Keamanan Nasinal AS yang dirilis Gedung Putih akhir 2017 lalu, pemerintah AS menggambarkan Cina, Rusia, Korea Utara dan Iran sebagai kekuatan-kekuatan revisionis yang bermaksud untuk mengubah statusquo global.
Selain itu, agaknya ada satu lagi kekhawatiran AS terhadap persekutuan Cina-Rusia dalam kerangka SCO ini. Yaitu potensi bangkitnya persekutuan Euroasia(Eropa dan Asia) yang dimotori oleh Cina dan Rusia.
Adanya tujuh negara Asia, termasuk Cina, yang tergabung dalam SCO, semakin mengundang kekhawatiran AS dan sekutu-sekutu baratnya.
Maka itu, digulirkannya konsepsi Indopasifik sebagai pengganti konsepsi Asia Pasifik yang selama ini digunakan, nampaknya merupakan arahan dari London dan Washington. Yang mana secara jangka pendek memang untuk membendung Cina, namun dalam jangka panjang dimaksudkan untuk memecah-belah kekompakan dan solidititas negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Mengapa Presiden Trump dan pemerintahan Gedung Putih begitu khawatir dengan persekutuan Euro-Asia yang dimotori Rusia dan Cina? Zbigniew Brzezinski, mantan Kepala Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat pada era pemerintahan Presiden Jimmy Carter, pada 1997 menerbitkan sebuah buku karyanya berjudul The Grand Chessboard: American Primacy and its Geostrategic Imperatives.
Menurut Engdahl, kebijakan luar negeri dan pertahanan Presiden Donald J Trump saat ini tiada lain merupakan upaya menerapkan skema yang ditulis Brzezinski dalam bukunya tersebut. Dengan kata lain, Trump berupaya menerapkan arah kebijakan geopolitik yang ditulis Brzezinski.
Menurut Brzezinski, AS memandang adanya ancaman geopolitik dari persekutuan Euro-Asia yang pada perkembanganya akan mengancam domninasi dan hegemoni AS. Persekutuan Euro-Asia yang dimaksud Brzezinski adalah Rusia, Cina dan Iran.
Dalam salah satu bagian di bukunya itu Brzezinski menulis: “Skenario potensial yang sangat berbahaya adalah timbulnya koalisi anti-hegemoni yang dipersatukan bukan oleh ideology, melainkan penyikapan bersama menantang ancaman hegemoni AS. Suatu koalasi besar yang dimotori oleh Rusia, Cina dan mungkin juga dengan Iran. Menghadapi itu, AS harus punya kecakapan geostrategi tentang parameter-parameter baik di kawasan Barat, Timur serta Selatan tentang Eropa dan Asia secara menyeluruh.”
Dalam analisis Engdahl, dengan dirilisnya Dokumen Strategi Pertahanan Nasional AS pada akhir 2017 lalu, semakin memperkuat keterkaitan doktrin Brzezinski dan doktrin pemerintahan Presiden Trump. Yaitu sama-sama memandang Rusia dan Cina sebagai potensi ancaman terbesar bagi hegemoni AS di dunia internasional. Seiring dengan itu, persektuan Rusia-Cina-Iran pun nampaknya juga semakin erat dan solid khusnya dalam menghadapi manuver militer AS dan NATO di Suriah.
Di sinilah makna strategis pertemuan tingkat tinggi SCO ke-18 di Cina Sabtu 16 Juni 2018.
Hendrajit, redaktur senior.