Jakarta, Aktual.com – Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan keterbukaan ekonomi yang lebih luas dapat membantu pemulihan kinerja perekonomian nasional yang terdampak pandemi COVID-19.

“Untuk mendukung keterbukaan ekonomi yang lebih luas, Indonesia perlu memastikan sistem hukum dan usahanya dapat mendukung perkembangan bisnis lewat kepastian hukum dan juga regulasi yang sederhana,” kata Felippa, Selasa (14/9).

Felippa menilai perlunya kebijakan yang fokus pada fasilitasi perdagangan bebas, investasi asing langsung serta pengembangan industri bernilai tambah agar kegiatan ekonomi dapat makin bergerak.

“Pandemi mempengaruhi jumlah penanaman modal asing (PMA) secara global. Indonesia perlu bersaing lebih keras dibanding negara lain untuk bisa menarik modal asing, terutama dengan menunjukkan komitmen kepada keterbukaan ekonomi,” katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan pelaksanaan UU Cipta Kerja dan peraturan turunan serta harmonisasi dengan kerangka regulasi lain dapat dilakukan untuk mewujudkan keterbukaan ekonomi dan meningkatkan daya saing di pasar global.

Selain itu, Felippa juga menekankan pentingnya reformasi regulasi untuk menarik investasi serta adanya upaya lain untuk kemudahan akses serta kemitraan dagang internasional yang kuat.

“Indonesia juga perlu meningkatkan negosiasi perdagangan, memanfaatkan skema kerja sama bilateral, multilateral serta regional, dan menurunkan hambatan-hambatan perdagangan. Hambatan non-tarif dan juga regulasi yang tidak bersahabat dengan open trade seringkali menjadi penghalang kemajuan,” katanya.

Pemerintah, lanjut dia, perlu mengembangkan industri bernilai tambah, terutama di sektor pengolahan dan manufaktur, untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi, bukan saja dengan memacu kinerja neraca perdagangan, tetapi juga meningkatkan daya saing produk Indonesia.

Felippa mengingatkan pentingnya untuk meningkatkan kinerja industri nasional untuk mendukung pemulihan ekonomi, terutama pada sektor yang mengalami pertumbuhan positif.

“Namun pengembangan industri bernilai tambah juga akan sangat dekat dengan adanya peningkatan nilai impor karena tidak semua bahan baku tersedia di Tanah Air terutama untuk sektor industri pengolahan dan manufaktur,” jelasnya.

Menurut dia, impor yang meningkatkan nilai tambah, akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, karenanya Indonesia harus memastikan bahwa apa yang diimpor akan menghasilkan nilai tambah bagi industri, termasuk yang memasok produk antara (intermediate goods) untuk diolah lebih lanjut di dalam maupun luar negeri.

Saat ini, Indonesia berada pada peringkat 70 dari 165 negara pada Economic Freedom of The World: Annual Report 2021 yang menggunakan data dari 2019. Indonesia termasuk lemah di salah satu indikator kebebasan dalam kegiatan ekonomi, yaitu perdagangan dengan menempati peringkat ke-91.

Hong Kong dan Singapura memimpin pada posisi ke-1 dan ke-2, diikuti oleh Selandia Baru, Swiss, Georgia, Amerika Serikat, Irlandia, Lithuania, Australia, dan Denmark pada 10 besar.

Negara dengan peringkat kebebasan ekonomi yang tinggi ini tidak saja memiliki tingkat PDB per kapita yang tinggi tetapi juga tingkat harapan hidup, pendidikan, dan layanan kesehatan yang lebih baik.

Laporan Economic Freedom of The World mengukur kebebasan ekonomi, termasuk dengan melihat tingkat pilihan pribadi, kemampuan memasuki pasar, keamanan properti milik pribadi, aturan hukum, dan menganalisis kebijakan dan institusi dari 165 negara.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid