Jakarta, Aktual.com – Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengungkapkan dampak rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang-barang kebutuhan pokok atau sembako.
“Rencana ini merupakan sebuah langkah yang tidak saja akan meningkatkan harga pangan dan karenanya mengancam ketahanan pangan tetapi juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum,” katanya di Jakarta, Rabu (9/6).
Felippa menyatakan dampak tersebut adalah meningkatkan harga pangan, mengancam ketahanan pangan, hingga mempengaruhi perekonomian Indonesia secara keseluruhan karena akan mempengaruhi konsumsi masyarakat.
Ia mengatakan pengenaan PPN pada sembako mengancam ketahanan pangan terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah sehingga lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harganya mahal.
“Menambah PPN akan menaikkan harga dan memperparah situasi apalagi di tengah pandemi ketika pendapatan masyarakat berkurang,” ujarnya.
Ia menjelaskan pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga sementara bagi masyarakat berpendapatan rendah belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.
Oleh sebab itu, ia menegaskan pengenaan PPN pada sembako tentu akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut.
Terlebih lagi, PPN yang ditarik atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) pada akhirnya akan dibebankan oleh pengusaha kepada konsumen.
Berdasarkan Economist Intelligence Unit’s Global Food Security Index, ketahanan pangan Indonesia sendiri berada di peringkat 65 dari 113 negara.
Salah satu faktor di balik rendahnya peringkat ketahanan pangan Indonesia ini adalah masalah keterjangkauan.
Keterjangkauan pangan yang menurun dengan sendirinya akan mendorong lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah menuju ke bawah garis kemiskinan.
Semakin banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk September 2020.
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah 2,7 juta dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
“Jumlah penduduk miskin sudah mencapai 27,55 juta orang atau 10,19 persen penduduk Indonesia,” tegasnya.
Data BPS tersebut juga menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan yang terjadi hingga 2019 terhenti di tahun berikutnya sebagai akibat dari dampak pandemi COVID-19.
Ia melanjutkan, kenaikan harga juga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga masyarakat mengurangi belanja.
Di sisi lain, belanja rumah tangga dan konsumsi pemerintah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi yang relatif dapat didorong dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin