Jakarta, Aktual.com — Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mewanti-wanti pemerintah jangan selalu mengikuti keinginan pengusaha dalam pengenaan tarif yang masuk dalam pengampunan pajak atau tax amnesty.

Pasalnya, pengusaha yang selama ini mengaku memarkir dananya di luar negeri, kemungkinan dana itu sudah ada di Indonesia.

“Saya yakin dana itu selama ini sudah ada di sini (Indonesia). Tapi mereka selalu menyatakan bahwa duitnya ada di luar negeri,” terang Yustinus di Jakarta, Kamis (21/1).

RUU Pengampunan Pajak sendiri sudah memasuki tahap akhir. Sehingga di semester kedua diprediksi akan aktif berjalan. Selama ini banyak para pengusaha yang memarkir uangnya di Malaysia karena tarif pajak di Singapura dianggap lebih kecil.

Berdasar data McKinsey, ada sekitar Rp3.000 triliun dana yang disimpan di Singapura. Tak hanya di Negeri Singa saja, diprediksi ada juga dana pengusaha dalam negeri di Swiss, Luksemburg, Cayman Islands dan negara lain dengan tarif pajak rendah.

Salah satu hal yang perlu dikhawatirkan adalah, jika dana itu ternyata ada di Indonesia, maka aka menjadi masalah baru. Selama ini pengusaha diclair di luar negeri, ternyata dijadikan modal di dalam negeri.

“Contohnya, dulu orang menghindar pajak dan ditaruh di Singapura, katakanlah salah satu bank asing bikin PT di Indonesia. Kemudian dananya utang dari bank serupa yang ada di Singapura. Padahal dananya ada di sini,” tegas dia.

Namun jika benar dananya ada, kata dia, Bank Indonesia juga perlu memikirkannya. Pasalnya, jika ada uang masuk sampai Rp3.000 triliun akan menghantam nilai ekspor nasional.

Menurut dia, BI harus punya hitung-hitungan terkait kondisi moneter itu. Sebab dengan dana sebesar itu tentu akan mendongkrak nilai rupiah yang pasti menguat.

“Kalau rupiah menguat, ekspor kita akan kalah. Tidak kompetitif lagi. Dan suku bunga juga akan turun tajam. BI harus segera menyiapkan infrastrukturnya,” kata dia.

Selama ini, lanjutnya, pasar Indonesia biasa menampung SUN yang mencapai Rp300 triliun.

“Kalau ada uang segar dan diinvestasikan, misal di obligasi Indonesia, berapa rate-nya? Jangan sampai uang bayar pajak hanya untuk bayar bunganya,” ingat dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka