Jakarta, Aktual.com — Dua pekan berlalu, Indonesia masih dibuat pusing oleh kelakuan segelintir elit politik. Sidang etik Setya Novanto belum kelar, malah wacana bergeser setelah politisi Beringin itu menggugat balik. Rekannya, Riza Chalid, bahkan mengancam membeberkan bobrok pejabat negara melalui media sosial. Apa arti semua ini?

Tentang kasus ini, para ahli sudah membuat banyak analisis dari aspek korupsi dan moral politik. Namun belum banyak yang melihat bagaimana dampak kasus ini terhadap citra partai. Pentingnya kasus “papa minta saham” dikaitkan dengan citra partai merupakan upaya kita membangun demokrasi yang sehat.

Bagaimanapun, perilaku politisi yang anti-demokrasi perlu diadili secara massal oleh kekuatan publik meskipun mekanismenya tidak langsung, tetapi melalui pemilihan umum, baik di tingkat pusat maupun lokal.

Untuk itu, kita perlu mendiskusikan beberapa hal yaitu (1) peran media dalam komunikasi politik, (2) hubungan perilaku kader dan citra partai, dan (3) formula penghakiman publik terhadap partai politik.

Komunikasi dan Pasar politik
Sebagian orang bingung kenapa partisipasi politik dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 menurun dibandingkan pilkada sebelumnya. Logikanya sederhana bahwa berbicara politik, ada kesamaan signifikan dengan bisnis. Keduanya memerlukan strategi branding untuk menjual, membangun loyalitas, dan sama-sama bekerja dalam pasar dengan tingkat persaingan tinggi (Kotler & Keller, 2006: 153). Kalau perusahaan mengejar laba, politik pun berbicara untung.

Loyalitas konsumen adalah kunci keberhasilan pemasaran jangka panjang di tengah persaingan bisnis yang tinggi. Begitu juga dengan politik. Keberhasilan partai ditentukan oleh loyalitas konstituen yang juga menjadi influencer pada lingkungan dimana politik bekerja.

Loyalitas ini sudah rusak bukan saja karena pengaruh politik uang, tetapi juga karena partai gagal membangun komunikasi yang intensif dengan konstituen. Kalau kita perhatikan, partai politik umumnya memakai media mainstreamsebagai sarana membentuk opini masyarakat melalui racikan berita.

Pemberitaan besar media terhadap skandal “papa minta saham” jelas berdampak pada partai politik yang mendukung para pelaku. Situasi ini diperkuat oleh lemahnya komunikasi interpersonal antara partai dan konstituen padahal Deutschmann dan Danielson dalam Rogers (2003) menekankan pentingnya komunikasi interpersonal dalam pasar politik.

Komunikasi interpersonal melahirkan perubahan perilaku pada level individu. Loyalitas masyarakat dalam pasar politik dibentuk oleh model komunikasi ini.

Citra Politik
Dipahami sebagai kesan yang diperoleh dari tingkat pengetahuan dan pengertian terhadap fakta, citra memainkan peran besar dalam politik modern (Kotler, 2006). Dalam pasar politik, citra adalah bagian dari unsur-unsur penting selain produk, harga, tempat, dan promosi (Band, 1987).

Dulu, PDI sebelum menjadi PDI Perjuangan, mendapat tekanan besar dari rejim Suharto. Citra sebagai “yang terzolimi” melekat pada partai ini sehingga pada pemilu 1999, setelah Suharto tumbang tahun 1998, PDIP mengukir sejarah sebagai pemenang pemilu.

Pada masa reformasi, sebagian partai dominan kemudian mengalami antiklimaks karena korupsi politik. Citra mereka memburuk. Situasi ini memberi ruang bagi partai baru seperti Nasional Demokrat (NasDem) untuk muncul dan menjadi besar seketika.

Partai Golkar yang mengalami banyak kekalahan dalam Pilkada serentak 9 Desember 2015 di seluruh Indonesia juga merupakan korban dari kehancuran citra. Selain karena pertikaian di tubuh partai, kasus Novanto juga memberikan kontribusi pada penurunan citra partai ini di mata khalayak politik.

Maka, selesai atau tidak selesai persidangan kasus Novanto tidak akan membantu Golkar untuk bangkit kembali. Hanya ada satu jalan keluar, yaitu menata kembali citra Golkar. Untuk menata citra ini, tentu saja konflik internal harus diselesaikan dan ada upaya rekonsolidasi baru.

Selain itu, Golkar perlu keberanian untuk membuang kader-kader yang menjadi beban bagi partai. Bahkan dengan meninggalkan Novanto, Golkar bisa memulihkan citranya yang memburuk.

Boikot Partai Papa
Menjelang pilkada serentak 9 Desember lalu, di media sosial Twitter muncul tagar #boikotpartaipapa yang tampil bersama dengan foto berlatar kuning dengan coretan di pohon beringin. Tagar itu dimaksud mengajak para netizen Twitter untuk tidak memilih calon kepala daerah yang diusung oleh partai kuning tersebut.

Jelas ini adalah reaksi keras masyarakat atas skandal papa minta sahamyang melibatkan kader partai tersebut. Meskipun kader yang terlibat hanya Novanto, namun efeknya membanjiri partai. Tidak heran kalau sikap skeptis masyarakat terbentuk dan merugikan para kandidat dari Golkar dalam pertarungan pilkada lalu.

Nila setitik rusak susu sebelanga. Efek ini bisa berdampak jangka panjang kalau tidak ada strategi memulihkan citra seperti kita bahas di atas. Manajemen ulang partai adalah upaya menata citra untuk kepentingan jangka panjang. Selain itu, riset pasar pun diperlukan. Riset pasar dimaksudkan untuk menjaring opini publik.

Kita sering melihat perusahaan menarik produk yang bermasalah dari peredaran (bahkan sebelum terjadi masalah). Partai politik pun mesti berbesar hati melakukan tindakan tegas dan nyata terhadap kader yang bermasalah karena citra buruk bisa menjadi celaka besar. Meninggalkan kader yang bermasalah adalah langkah cerdas seperti dicontohkan NasDem setelah kasus Rio Capela meskipun kasusnya masih kontroversial.

Penulis:

Jong Lisa, Peneliti muda pada Lembaga Pemilih Indonesia

Artikel ini ditulis oleh: