Jakarta, Aktual.com — Pengamat lingkungan Center For Ocean Development and Maritime Civilization (Commit), M Karim mengatakan, kontroversi mega proyek reklamasi Teluk Jakarta yang kini tengah diberhentikan sementara adalah bentuk perselingkungan pemerintah dari rakyat.
“Reklamasi adalah persekongkolan kapitalisme dan pemerintah. Janganlah masyarakat dijadikan korban oleh pemerintah akibat kepentingan bisnis,” ucapnya kepada Aktual.com saat dihubungi, Jakarta, Minggu (24/4).
Karim yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Commit menjelaskan, persekongkolan tersebut terlihat dari pengambilan keputusan untuk pemberhentian sementara bukan penghentian selamanya.
Ia juga mengatakan, jauh sebelum mega proyek ini menjadi kontroversi, 13 tahun lalu yakni 2003, Kementrian Negara Lingkungan Hidup (Kemeneg LH) tidak memberikan izin kepada Pemprov DKI untuk melakukan reklamasi dengan dalih mengatasi ledakan penduduk dan mengatasi Water Front City (WFC). Kemeng LH kala itu menilai, reklamasi Teluk Jakarta seluas 2700 hektar tidal layak secara Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Kala itu, lahan reklamasi dijual Rp 4 juta/m² sehingga, nilai pendapatan keseluruhannya mencapai Rp 108 triliyun. Sedangkan untuk proyek reklamasi Teluk Jakarta saat ini, sambung Karim, harpa permeternya meroket hingga Rp 13/m²- Rp 30/m².
“Total dari 17 proyek pulau dengan luas 2589 hektar, pendapatannya bisa Rp 661,31 T hingga Rp 1526,11 T. Tentu itu menggiurkan, tapi kerugian ekonomi, ekologi dan sosialnya akan lebih besar jika dihitung. Sebab itu sifatnya jangka panjang,” paparnya menjelaskan.
Kerugian tersebut, Karim menjelaskan, karena adanya perubahan pola arus yang disebabkan adanya ‘pulau palsu’, pulau reklamasi. Akibatnya, siklus ekosistem akan berubah, ada juga sedimentasi yang makin tinggi, intrusi air laut yang semakin jauh akibat rusaknya habitat mangrove yang ujungnya, Giant Sea Wall dan reklamasi akan menjadikan sebuah waduk yang penuh dengan limbah.
“Dari segi ekonomis menghilangkan penghasilan nelayan akibat reklamasi ini, yaitu sekitar Rp 2,1 Triliun kerugian dialami nelayan jika reklamasi dilanjutkan,” tuturnya yang juga dosen bioindustri di Universitas Trilogi Jakarta.
Sebab itu, Karim mempertanyakan, untuk siapa reklamasi dipaksakan. Ia pun merasa, anggapan yang mengatakan reklamasi akan meningkatakan kapasitas nelayan adalah suatu kebohongan. Padahal, puluhan ribu nelayan selama ini telah menopang pangan sektor perikanan di DKI Jakarta.
“Setidaknya, 28.160 ton produksi kerang hijau akan berkurang setiap tahunnya. Baik nelayan penangkap ikan maupun pembudidaya kerang mustahil mampu membeli apartmen atau rumah mewah yang dibanghn di pulau reklamasi,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby