Jakarta, aktual.com – Topik bahasan mengenai virus Corona masih hangat-hangatnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Beragam topik mengemuka di publik, baik soal wabahnya, kekhawatiran penyebarannya, penanganannya maupun dampaknya. Semua menghiasi layar-layar beragam platform media.
Salah satu dampak yang sudah dirasakan masyarakat Indonesia adalah kenaikan harga kebutuhan sehari-hari khususnya komoditas bawang putih. Ini bermula dari informasi dan data yang disampaikan Kepala Pasar Induk Kramat Jati (Jakarta Timur) Agus Lamun pada 3 Februari 2020.
Sehari-hari, Pasar Induk Kramat Jati mendapat pasokan rata-rata 40-60 ton bawang putih impor dari China. Pasokan sebanyak itu untuk mencukupi kebutuhan warga Jakarta dan sekitarnya yang meliputi Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).
Namun pekan pertama Februari 2020 hanya mendapat pasokan empat ton per hari atau 5-10 persen dari pasokan biasanya. Dari data itu, maka di pasaran terjadi kekurangan pasokan.
Dampak langsung yang dirasakan masyarakat dari berkurangnya pasokan adalah naiknya harga bawang putih. Harga sebelum pasokan turun masih berkisar Rp28 ribu per kilogram (Kg), namun melonjak hingga Rp35 ribu pada pekan pertama Februari 2020.
Itu adalah harga di pasar induk. Padahal rantai penjualan komoditas dari pasar induk masih harus melalui beberapa tahap lagi sebelum sampai ke hadapan konsumen langsung (masyarakat).
Dari pasar induk, kebutuhan termasuk bawang putih masuk pasar, baik pasar tradisional maupun pasar moderen. Di pasar tradisional inilah, pemilik warung sayuran dan pedagang sayur keliling membeli bawang putih untuk dijual kepada warga.
Kalau harga di pasar induk naik, penjualan di tingkat konsumen juga dipastikan naik.Itulah yang terjadi pada bawang putih. Itu juga sesuai hukum ekonomi bahwa ketersediaan komoditas di pasar berpengaruh langsung terhadap harga.
Berdasarkan informasi harga pangan di DKI Jakarta yang dipantau dari aplikasi Harga Pangan Jakarta pada 7 Februari, harga bawang putih Rp54.234 per Kg. Tingginya harga bawang putih menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga bawang putih dan cabai yang juga sedang naik.
Sebut saja, Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (KPKP) Jakarta Selatan melakukan operasi pasar cabai dan bawang putih pada Jumat (7/2). Dalam operasi pasar ini, harga bawang putih jenis katingan dijual dengan harga Rp20 ribu untuk 500 gram, sedangkan jenis honan Rp17.500 per 500 gram.
Berhati-hati
Hingga kini, harus diakui oleh semua pihak bahwa kebutuhan bawang putih nasional masih sangat tergantung dari impor. Daerah tropis dan wilayah yang diengung-dengungkan memiliki kesuburan tanah, namun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan yang terlihat sepele dan remeh, yaitu bawang putih.
Dari 500 ribu ton bawang putih nasional per tahun, produksi nasional tidak sampai 50 ribu ton. Mau tidak mau, impor adalah jalan yang harus dilalui untuk memenuhi permintaan di dalam negeri.
Selain bawang putih, kata Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Prihasto Setyanto, Indonesia masih mengimpor sejumlah komoditas hortikultura dari China, seperti bawang bombai dan buah-buahan.Yang paling besar memang bawang putih, bawang bombai dan juga beberapa buah-buahan, seperti pear, apel dan jeruk tetapi tidak banyak.
Dengan ditetapkannya status darurat global terhadap merebaknya virus corona baru CoV/2019-nCoV, Kementan dan Kementerian Perdagangan tetap berhati-hati terhadap produk hortikultura yang diimpor dari China.
Dari perhitungan stok, Menteri Pertanian H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, masih ada 84 ribu ton stok bawang putih sehingga tidak perlu khawatir dengan tersendatnya impor bawang putih dari China. Selain masih ada stok, pada pertengahan Februari 2020 produksi bawang putih lokal sudah siap panen khususnya di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Karena itu, kondisi di lapangan terkait kenaikan bawang putih diyakini segera normal kembali dalam waktu dekat. Faktor yang mendorong harga ke arah stabil, yakni stok yang masih cukup banyak dan adanya panen dari sentra-sentra budidaya bawang putih di dalam negeri
Melonjaknya harga bawang putih di pasaran hanya terjadi di beberapa daerah saja, juga dipicu oleh asumsi-asumsi di lapangan terkait merebaknya virus Corona di China. Artinya lebih disebabkan psikologis dan spekulasi pedagang di pasar.
Pengadaan bawang putih lokal, sebenarnya bukan tidak bisa dikembangkan di Indonesia, namun iklim yang cocok dengan tanaman itu hanya di daerah subtropis yang suhunya dingin seperti di China. Karena itu, impor bukan barang haram.
Peluang
Kini di tengah merebaknya virus Corona yang mengakibatkan tersendatnya pasokan impor selayaknya menumbuhkan gerakan dan gebrakan untuk memenuhi kebutuhan dari budidaya dalam negeri. Sebagai wilayah yang subur, perlu diumumkan daerah mana memiliki kecocokan iklim, cuaca dan tanah yang cocok untuk budidaya bawang putih.
Peningkatan produksi bawang putih telah didengungkan sejak beberapa tahun lalu. Bahkan jika mencermati lagi, perkembangan bawang putih di mesin-mesin pencari data, pernah juga disampaikan bahwa Indonesia menargetkan swasembada bawang putih pada 2021.
Entah realistis dan logis atau tidak, tetapi target itu telah didengungkan ke publik. Entah tercapai atau tidak, tetapi target itu cukup memberi dan membuka optimisme di kalangan masyarakat.
Persoalannya adakah gerakan dan gebrakan di lapangan untuk mewujudkan target itu? Seberapa mungkin upaya meningkatkan produksi bawang nasional bisa terwujud?
Dari segi kondisi di lapangan, budidaya bawang putih cukup banyak dikembangkan di beberapa wilayah di Indonesia. Awalnya yang populer sebagai sentra budidaya bawang putih adalah Sembalun di kaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Bawang putih Sembalun pernah berjaya di masa lalu. Tetapi pamornya surut karena berbagai sebab dari persoalan pembinaan kepada petani, buruknya bibit hingga bawang impor.
Wilayah nusantara sebagai tanah yang subur–seperti telah digambarkan oleh Koes Plus–sebenarnya surga bagi beragam tanaman untuk bisa tumbuh. Pohon kurma sebagai tanaman yang dikenal hanya tumbuh di Timur Tengah, ternyata tak sedikit warga yang berhasil mengembangkan di Indonesia dengan hasil menggembirakan.
Begitu pula bawang putih. Ternyata bukan hanya Sembalun yang cocok. Beberapa daerah lain telah terbukti mengembangkannya dengan hasil gemilang.
Pada 1 Oktober 2019, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian melalui laman resminya mengunggah informasi bahwa Kabupaten Tegal tepatnya di Dusun Karang Anyar, Desa Rembul, Kecamatan Bojong, merupakan tempat inovasi teknologi Balitbangtan untuk bawang putih diujicobakan. Tegal itu sebelah Brebes yang selama ini dikenal sebagai sentra bawang merah.
Terhampar pada luasan 5.000 meter persegi (m2) di kaki Gunung Selamet dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) membuat demplot penanaman bawang putih varietas lumbu hijau dan tawangmangu baru.
Panen yang dilakukan pada Selasa itu terhadap bawang putih varietas tawangmangu baru menghasilkan 36 ton per hektare (ha), sementara varietas lumbu hijau yang panennya dilakukan 10 hari yang lalu menghasilkan bawang putih sebanyak 29 ton per ha.
Sebagai gambaran bahwa produksi rerata bawang putih secara nasional menurut Badan Pusat Stastistik (BPS) adalah 8,7 ton per ha dan produktivitas bawang putih di China hanya 26 ton per ha pada kondisi basah.
Saat itu, Kepala Balitsa Catur Hermanto menyampaikan bahwa demplot bawang putih yang panennya dilakukan itu merupakan upaya Badan Litbang Pertanian menyediakan dan menyiapkan teknologi untuk petani.Tantangan utama budidaya bawang putih adalah kualitas dan tingginya biaya produksi.
Biaya produksi bawang putih di China adalah 8 ribu rupiah per kilogram sementara di Indonesia bisa mencapai di atas 15 ribu rupiah per kilogramnya. Hal ini yang menyebabkan bawang putih kita sulit untuk bersaing dengan bawang putih impor sehingga perlu keberpihakan dari pemerintah agar bawang putih dalam negeri bisa bersaing.
Kuncinya ada di penggunaan teknologi, Catur optimistis teknologi ini bisa segera terdiseminasikan ke seluruh sentra bawang putih dan diadopsi oleh petani sehingga swasembada bawang putih tidak lagi hanya menjadi wacana.
Peneliti senior Balitsa, Rofik Sinung Basuki sudah malang melintang menggeluti bawang putih di Indonesia. Dia mengatakan bahwa untuk bisa swasembada bawang putih, Indonesia memerlukan lahan seluas 75 ribu hektare pada ketinggian 1.500 mdpl dengan asumsi produksi bawang putih 8-10 ton per ha.
Saat ini lahan bawang putih yang tersedia hanya dua ribu hektare. Karena itu, untuk meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri, masih diperlukan puluhan ribu hektare lagi dan pengolahan lahannya disertai penerapan teknologi.
Penggunaan teknologi tidak saja memacu produksi tetapi juga mampu mengefisienkan penggunaan lahan yang kian menyempit. Karena itu pengembangan bawang putih dalam jangka pendek bukan untuk mengganti bawang putih impor melainkan untuk subsitusi.
Agaknya, tantangan paling berat dalam pengembangan budidaya bawang putih sebenarnya ada pada kebijakan dan komitmen yang kuat pihak terkait untuk meningkatkan produksi dalam negeri.
Hal itu karena tata niaga bawang putih impor selama ini sudah sangat mapan.
Persoalannya mau dan mampukah meningkatkan luasan budidaya serta produksi dalam negeri di tengah tata niaga impor yang sudah sangat mapan itu?
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto