Sayangnya, sebagian besar birokrat kita sering menggampangkan persoalan. Mereka beranggapan dengan membuka industr crumb rubber bagi asing seluas-luasnya, maka pengusaha nasional akan dipaksa berkompetisi melawan asing.
Di sinilah kelirunya para birokrat kita. Tanpa bersaing dengan asing saja, produsen crumb rubber lokal sudah babak-belur akibat rendahnya utilisasi kapasitas terpasang karena bahan baku yang amat terbatas. Bisa dibayangkan kalau jumlah pemain ditambah, apalagi asing, tentu akan kian berdarah-darah.
Birokrat kita juga mestinya paham, jika asing yang dominan sebagian besar nilai tambah industri karet tadi akan direpatriasi ke negeri asalnya. Sedangkan tenaga kerja yang terserap juga tidak akan banyak. Lha wong yang sekarang aja banyak yang idle karena kurangnya bahan baku.
Penerimaan perpajakan? Kita lihat saja tambahan apa yang bisa diperoleh dari industri yang kapasitas terpasangnya makin melorot. Sedangkan devisa ekspor yang dibangga-banggakan, sudah pasti wujudnya ada di negeri asing juga. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI) hanya kebagian mencatat saja.
Sampai akhir 2017, total industri crumb rubber tercatat 3,629 juta ton. Dari jumlah itu, yang diserap industri hilir karet hanya sekitar 630.000 ton. Sisanya yang 3,226 juta ton habis diekspor dengan devisa yang dihasilkan sebesar US$5,2 miliar. Angka ini naik 61,2% ketimbang tahun sebelumnya. US$5,2 miliar itu lumayan banyak, lho.
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid