Jakarta, Aktual.com — Kebutuhan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) meningkat menjelang ramadhan dan lebaran. PT Pertamina (persero) mengaku membutuhkan biaya importasi BBM hingga USD500 Juta per hari atau sekitar Rp6,5 triliun/hari.
Kebutuhan tersebut dibiayai melalui dukungan tiga Bank BUMN dengan fasilitas hedging (lindung nilai).
“Untuk kebutuhan dolar AS, Pertamina sudah ter-cover melalui Forex line dari Bank Indonesia. Selain itu, Pertamina mendapatkan dukungan tiga bank BUMN. Kami bisa melakukan hedging terhadap kebutuhan dolar yang saat ini sebesar USD60-70 juta,” ujar Vice President for Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro kepada Aktual di Jakarta, Selasa (23/6).
Menurutnya, ketiga bank BUMN itu mampu menyediakan fasilitas kredit hingga senilai USD2,5 miliar. Tiga bank tersebut adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Seperti diberitakan sebelumnya, Energy Watch Indonesia (EWI) menilai pada Era Karen Agustiawan, kebutuhan dolar AS untuk importasi BBM hanya USD100 juta. Tingginya kebutuhan dolar AS tersebut menggerus devisa dan menyebabkan kurs rupiah enggan turun (Baca: Kebutuhan dolar AS tinggi, Dirut tak mampu kelola sektor energi)
”Angka yang dibutuhkan pertamina hingga mencapai USD500 juta/hari sangat tidak masuk akal, itu terlalu besar. Kenaikannya terlalu tinggi, seolah kebutuhan kita sudah 100 persen impor,” ujar Direktur EWI, Ferdinand Hutahaean.
Dirinya pun tidak yakin dengan angka yang disebutkan Dirut Pertamina tersebut. Pasalnya, angka tersebut terlalu tinggi kecuali kita impor 100 persen.
Ditemui terpisah, Direktur Departemen Komunikasi BI, Peter Jacob mengatakan kebutuhan dolar AS Pertamina tersebut sebenarnya dipenuhi dari pasar.
“Jika transaksi di pasar valas domestik cukup besar, maka dampak permintaan Pertamina tidak terlalu besar,” ujar Peter.
Lebih lanjut dikatakan dia, maka berlaku sebaliknya. Jika transaksi di pasar valas domestik rendah, maka permintaan Pertamina akan tinggi.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka