Kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dianggap tak mampu untuk menggenjot pertumbuhan dengan mengandalkan belanja pemerintah. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) selama menjadi Menkeu dalam setahun ini, tak memiliki prestasi apa-apa. Bahkan yang ada malah membebani masyarakat dengan banyak pajak baru seperti layaknya lembaga International Monetary Fund (IMF).

Hal itu, menurut analis ekonomi politik, Abdulrachim Kresno, kebijakan SMI hanya bisa memotong anggaran dan kebijakan baru penarikan pajak yang membabi buta.

“Dalam waktu hanya satu minggu setelah dilantik, SMI memotong belanja APBN 2016 sebesar Rp133,8 triliun setelah Menkeu sebelumnya memotong sebesar Rp50,02 triliun . Sehingga total potongan APBN 2016 menjadi Rp183,82 triliun,” jelas dia, kepada Aktual.com, Senin (24/7).

Kebijakan ekonomi seperti itu, kata dia, dikenal sebagai kebijakan austerity atau penghematan yang merupakan prinsip dari IMF. Prinsip itu diterapkan di mana-mana dalam ‘menolong’ (menjerumuskan) perekonomian suatu negara yang sedang dalam kesulitan.

Kondisi itu terjadi di Argentina, pada 1991-2002, di Indonesia 1997-1998, terakhir di Yunani pada 2009 sampai saat ini dan semuanya gagal. Campur tangan IMF kepada krisis ekonomi dengan model austerity itu malahan membuat negara-negara itu terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang lebih dalam.

“Padahal di AS itu, pada waktu mengalami krisis ekonomi di 2008 justru menerapkan prinsip yang sebaliknya yaitu memberikan stimulus- ekonomi atau counter cyclical economic policy. Itu terbukti berhasil keluar dari krisis ekonomi dengan selamat dan mengurangi tingkat pengangguran dengan signifikan,” papar dia.

Pengalaman Indonesia 1997-1998 jelas membuktikan IMF juga campur tangan atas undangan menteri ekonomi Presiden Suharto. Managing Director IMF waktu itu, Michael Camdessus sebelum bertemu dengan Suharto mengundang beberapa ekonom Indonesia untuk bahas kondisi terakhir, salah satunya ekonom Rizal Ramli (RR).

Namun, RR justru satu-satunya ekonom yang menolak campur tangan IMF dalam menyelamatkan krisis ekonomi Indonesia, karena IMF dalam ‘membantu’ negara-negara Amerika Latin dalam mengatasi krisis ekonomi mereka, ternyata gagal.

“Jadi, menurut RR, bahwa terjadinya kasus skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sebanyak ratusan triliun itu terjadi akibat tekanan IMF,” ujarnya.

Pertama, IMF menekan agar 16 bank kecil dilikuidasi, meski mereka itu bank kecil. Tetapi likuidasi itu membuat masyarakat tak mempercayai sistem perbankan Indonesia. Akibatnya, terjadi penarikan rush yang menjalar ke bank-bank besar seperti BCA dan Danamon.

Kemudian, IMF juga menekan agar tingkat bunga dinaikkan dari 18% ke 80%. Dampaknya perusahaan-perusahaan yang tadinya sehat menjadi kolaps. Selanjutnya, IMF juga menaikkan harga BBM pada tanggal 1 Mei 1998 sebesar 74%.

“RR sudah mengatakan waktu itu, kalau tetap dinaikkan bisa terjadi masalah besar. Tetapi harga BBM tetap dinaikkan. Dan akhirnya pada 21 Mei 1998 Presiden Suharto jatuh,” ingat dia.

Menurut perhitungan RR, kata dia, kalau waktu itu tak ada campur tangan IMF, maka ekonomi hanya akan turun dari 6% ke 2% atau 0%. Tetapi karena ada intervensi IMF, IMF maka  ekonomi anjlok hingga 13% plus menyuntikkan BLBI ratusan triliun.

“Sekarang keliahatan, fokus SMI (mantan Direktur Eksekutif untuk Asia Tenggara 2002-2004) kebijakanya mirip dengan IMF. Hanya memotong anggaran, mengejar pajak dan mau mengintip rekening Rp200 juta, tapi dinaikkan jadi Rp1 miliar karena banyak diprotes orang. Juga memajaki petani tebu, mencabutnya karena diprotes. Sekarang mau menurunkan batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak),” papar dia.

Namun di lain pihak SMI selama satu tahun ini tak pernah mengeluarkan kebijakan apapun yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Apapun yang bisa memberikan insentif kepada sektor tertentu untuk tumbuh tak dilakukan. Apakah terkait dengan pariwisata, ekonomi kreatif, manufacturing, vocational trainng, dan lainnya.

“Langkah Sri Mulyani yang konsisten kepada kebijakan austerity dan mengejar pajak ini menyebabkan lesunya ekonomi, mengarah kepada PHK dan resesi ekonomi dan bukan tidak mungkin terjadi depresi ekonomi. Ini sangat berbahaya bagi ekonomi Indonesia bila SMI dipertahankan sebagai Menkeu,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan