Jakarta, Aktual.com – Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan, dalam lima tahun terakhir pemerintah menggunakan rata-rata 4,1 persen dari belanja negara untuk memitigasi dampak perubahan iklim.
“Sedangkan dari sisi pembiayaan, pemerintah sudah terbitkan green sukuk sejak 2018 yang antara lain untuk membiayai transportasi berkelanjutan, memitigasi bencana alam, pengalihan limbah, akses energi baru dan terbarukan (EBT), dan efisiensi energi,” kata Pande dalam diskusi daring “Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon” yang dipantau di Jakarta, Jumat (22/10).
Pemerintah menargetkan Indonesia tidak lagi menghasilkan emisi karbon pada 2060 mendatang. Untuk ini, menurut Pande, pemerintah juga tengah berdiskusi untuk membuat climate change fiscal framework guna memperkuat pembiayaan berkelanjutan di dalam negeri.
“Namun demikian, sumber pembiayaan ini diperkirakan belum bisa men-cover keseluruhan kebutuhan pembiayaan berkelanjutan sehingga masih ada ruang yang bisa kita harapkan untuk ditingkatkan ke depan,” ucapnya.
Karena itu, pemerintah baru-baru ini menelurkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang juga mengatur tentang pajak karbon.
Selain untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan, Pande mengatakan bahwa aturan tentang pajak karbon menjadi sinyal bahwa pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia mulai mengarah pada energi yang lebih hijau.
“Dalam draft UU HPP yang sudah disepakati DPR dan tinggal tunggu proses penyelesaiannya saja, pajak karbon direncanakan mulai dipungut 1 April 2022, dimana untuk tahap awal pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara),” katanya.
Tarif pajak karbon pun menurutnya cukup murah yakni sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Pemungutan pajak karbon, menurut Pande, akan dipungut secara berhati-hati ke depan.
“Akan diperhatikan beberapa faktor, misalnya kesiapan sektor, kondisi perekonomian, dan pemenuhan target dari NDC (Nationally Determined Contribution) dan dicoba untuk diselaraskan dengan perkembangan pasar karbon di Indonesia,” ucapnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Wisnu