Menkeu Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan pers di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (8/3). Menkeu menyatakan sebanyak 4.551 fungsional pemeriksa dan penyidik pajak di seluruh Indonesia akan membantu optimalisasi penerimaan pajak dari Wajib Pajak Orang Pribadi. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz/16.

Jakarta, Aktual.com — Pembahasan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang akan diganti nama menjadi RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (P2KSK) akan mengarah ke sosok Presiden RI yang akan bertanggungjawab ketika terjadi krisis keuangan.

Keputusan Presiden soal krisis itu sangat terkait denga bail-in (dulu bail-out) jika ada satu bank yang terkena masalah dan menimbulkan krisis berdampak sistemik. Namun sebelum itu, Presiden harus mengikuti masukan dari Forum Komunikasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).

“Karena presiden itu punya kewenangan untuk mengambil langkah yang diperlukan saat kondisi darurat terjadi,” tandas Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro seusai rapat RUU JPSK dengan Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (10/3).

Menkeu sendiri adalah salah satu dari anggota FKSSK, selain Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

Menurut Bambang, masukan dari FKSSK yang disampaikan ke Presiden memang harus secara detail datanya. Namun Presiden sendiri tidak otomatis menerimanya.

“FKSSK yang memberikan rekomendasi ke Presiden. Nantinya Presiden yang menetapkan. Tapi Presiden juga bisa nolak atau bisa terima,” kata Bambang.

Pembahasan RUU ini, kata dia, ruhnya memang bagaimana diatur mekanisme bail-in. Hal ini penting mengingat bail-in sesuai yang terjadi di dunia internasional. “Kalau mau menjaga stabilitas keuangan yang diutamakan adalah mekanisme bail-in,” tegasnya.

Menurutnya, selama ini mekanisme bail-out seperti yang pernah terjadi terhadap Bank Century memang selalu tak berujung baik.

“Makanya kemudian semua negara-negara menggunakan bail-in,” ujarnya.

Bail-in sendiri, kata dia, bisa diartikan sebagai bank yang mengelola uang besar yang bisa berdampak sistemik harus punya modal besar dan mempunyai indikator-indikator lain lebih dari yang biasa.

Dalam pembahasan dengan Komisi XI sendiri, Menkeu meminta beberapa pasal agar dihapus. Antara lain di Pasal 6 huruf K yang intinya menyebutkan, soal pembelian surat berharga di pasar keuangan perdana oleh Bank Indonesia untuk penangan krisis dihapus.

“Karena BI hanya boleh beli SBN (Surat Berharga Negara) dari pemerintah di pasar skunder, bukan di pasar perdana,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan