Jakarta, aktual.com – Sidang lanjutan praperadilan I Nyoman Dhamantra, terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kasus suap pengurusan kuota dan izin impor bawang putih, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (7/11), menghadirkan saksi ahli dari pihak termohon.
Saksi ahli tersebut adalah, Abdul Chair Ramadhan yang merupakan ahli hukum pidana dari STIH Iblam.
Dalam sidang tersebut, saksi ahli itu menjelaskan, Operasi Tangkap Tangan (OTT) tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, untuk menerapkan strategi menangkap seseorang melalui operasi senyap itu merupakan perkembangan lembaga penegak hukum.
“Jelas bahwa OTT tidak dikenal dan memang tidak diatur dalam KUHAP. Secara prosedural, baik dari sistem pembentukan KUHAP maupun maksud yang terkandung dalam pembentukan UU secara teologis tidak ditafsirkan lain dan berlainan bahwa OTT adalah hal lain dengan definisi, batasan, pengertian dengan tertangkap tangan,” kata Abdul Chair dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (7/11).
Ia mengungkapkan, tak menemukan definisi atau kajian tentang strategi lembaga penegak hukum untuk menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana melalui OTT tersebut.
“Karena sampai sekarang ahli belum menemukan dalil argumentatif maupun pendekatan penafsiran baik secara teologis, teoretika terhadap pembenaran OTT itu menyimpang dari ketentuan Pasal 1 angka 19 KUHAP,” ungkapnya.
Sementara itu, anggota Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korusi (KPK) Togi Robson Sirait menanyakan aturan detil dari pemahaman Abdul terkait KUHAP yang tidak mengatur OTT.
Menjawab pertanyaan tersebut, Abdul berdalih aturan tersebut tidak perlu dibuktikan. “Yang jelas sesuatu yang sudah menjadi ketentuan umum tidak perlu dibuktikan,” pungkasnya.
Sebelumnya, dalam kasus ini, KPK telah menetapkan enam orang tersangka salah Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDIP I Nyoman Dhamantra.
Politisi PDIP itu dijerat bersama lima orang lainnya yang terdiri dari Mirawati Basti selaku orang kepercayaan Dhamantra dan empat pihak swasta yakni Elviyanto, Chandry Suanda, Doddy Wahyudi, dan Zulfikar.
KPK menduga Dhamantra telah meminta fee Rp 3,6 miliar untuk membantu Chandry dan Doddy mengurus rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian (Kementan) dan surat persetujuan impor (SPI). Keduanya terlebih dulu bertemu Mirawati serta swasta Elviyanto guna memuluskan urusan impor itu.
Dalam kesepakatan mereka, Dhamantra mematok komitmen fee Rp1.700 – Rp1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor. Sementara itu, kuota impor bawang putih untuk 2019 sebesar 20 ribu ton.
Dhamantra diduga baru menerima uang Rp 2 miliar dari kesepakatan itu. Uang itu diterimanya melalui rekening transfer money changer.
Atas perbuatannya Chandry, Doddy, dan Zulfikar sebagai penyuap disangkakan melanggar pasal melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Dhamantra, Mirawati, dan Elviyanto sebagai penerima sogokan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin