Jakarta, Aktual.com – Boikot terhadap produk pro Israel yang terus berkumandang menyebabkan penurunan performa saham perusahaan dan menciptakan potensi PHK.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mande menyatakan, dampak pandemi Covid-19 sangat merugikan bisnis ritel, namun kini munculnya masalah geopolitik global, seperti konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.

Roy menyatakan dukungannya terhadap upaya perdamaian dan kemanusiaan, meskipun ia mencatat bahwa boikot produk yang diduga terkait Israel berdampak signifikan pada industri dengan menurunkan penjualan.

Dampak penurunan tersebut akhirnya merambah ke operasional bisnis, dan Roy mencatat adanya potensi serius terhadap perlambatan ekonomi Indonesia, bahkan mencapai kemungkinan pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Ada produktivitas di situ. Produktivitas di mana itu mempekerjakan temen-temen kita juga. Bisa dibayangkan begitu tergerus produsen, konsumen, investasi, pertumbuhan bisa nggak terjadi, bahkan yang kita nggak mau, PHK,” ujarnya saat konferensi pers di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Rabu (15/11).

Situasi ini berpotensi memengaruhi kinerja saham perusahaan. Roy berpendapat bahwa minat investor terhadap perusahaan-perusahaan terkait dapat menurun karena adanya penurunan operasional dari perusahaan tersebut.

“Misalkan perusahaan jadi setop produksi. Sahamnya akan tergerus kan. Wah ini berhenti nih, karena nggak ada penjualan. Akhirnya dampaknya ke investor. Saham produk itu akan kurang diminati. Produktivitasnya kan berubah itu mulai kelihatan. Bukan pasti berubah, karena beberapa perusahaan pasti bertahan. Ini ke macem-macem, investasi, saham, tenaga kerja, dan lain-lain,” tukasnya.

Roy juga mengungkapkan bahwa situasi ini dapat menghambat kebebasan konsumen dalam memilih produk. Dalam hal ini, ada kemungkinan bahwa sejumlah konsumen menghadapi kesulitan dalam mendapatkan produk-produk yang masuk dalam daftar boikot, meskipun mungkin produk tersebut tidak dapat digantikan oleh produk lain.

“Ada hak konsumen yang perlu dilindungi di tengah seruan aksi boikot dan pertimbangan dampak ekonomi secara lebih luas,” ujar Roy.

“Konsumsi masyarakat berkontribusi juga bagi ekonomi, kan 51,8% dari konsumen. Berbagai negara maju sekarang, Jepang, Amerika, gak lebih dari 2% pertumbuhannya, bahkan Eropa 0,1-0,2%. Kita bisa 5% (berkat konsumsi),” imbuh Roy.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern Indonesia (AP3MI) Uswati Leman Sudi menyampaikan bahwa tindakan ini berpotensi mengurangi transaksi di pasar modern hingga 50%, mengingat sebagian besar barang yang termasuk dalam daftar boikot merupakan produk pareto.

Produk pareto merujuk pada barang yang menyumbang hingga 80% dari produksi pasar, tetapi hanya memberikan kontribusi 20% pada transaksi. Secara umum, produk pareto termasuk produk konsumen seperti sabun, sampo, dan susu dalam kemasan.

“Pengurangan penjualan produk pareto biasanya dari isu yang kecil dan berkembang. Mungkin transaksi di pasar hilir bisa berkurang sampai 50% dan target ekonomi pemerintah akan sulit tercapai,” jelas Uswati.

Uswati menyatakan pihaknya memberikan dukungan penuh terhadap upaya kemanusiaan. Namun, ia berharap pemerintah akan mengambil tindakan tegas untuk membantu industri ritel mengatasi tantangan ini.

“Kami juga sangat paham dan mengerti situasi saat ini. Apakah bentuknya statement atau himbauan dari beberapa pihak agar daerah tertentu tak membeli produk tertentu. Maksud kami jangan terlalu lama pemerintah ambil statement. 1 minggu bisnis bergulir, kategori yang dimaksudkan akan gerus bisnis. Sementara pemerintah pengen ekonomi jangan turun, inflasi jangan naik. Kalau dibiarkan objektif pemerintah pasti tak tercapai,” tukasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Yunita Wisikaningsih