Jakarta, Aktual.com – Meski dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat ditambah dana-dana dari pemerintah daerah sangat besar, tapi pemerintah masih berharap pihak swasta terlibat dalam pembangunan ekonomi desa.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo menegaskan, jika dikalkukasi dana desa yang akan diperoleh satu desa bervariasi antara Rp800 juta hingga Rp3 miliar. Bahkan di Kalimantan Barat ada kabupaten yang dana desanya mencapai Rp1,8 miliar-Rp2,7 miliar per desa.

“Hingga 2019 nanti pemerintah pusat akan kucurkan dana desa mencapai Rp111 triliun. Sehingga semangat membagun dari pinggiaran akan terwujud,” ucap Eko di Jakarta, ditulis Senin (17/10).

Namun demikian, kendati dana desa sudah triliunan, Mendes mengakui dengan kondisi desa yang berbeda maka butuh instrumen lain untuk membangun perekonomian desa. Salah satunya membangun sarana pasca panen.

Menurutnya, yang membuat desa kaya atau tidak salah satu dipengaruhi kondisi pasca panen agar saat panen harga komoditas di daerah tersebut tak anjlok.

“Jika ada sarana pasca panen, maka ketika panen dimulai harganya tidak jatuh. Namun sayangnya tidak semua desa memiliki sarana pasca panen,” jelasnya.

Saat ini, kata dia, Presiden Jokowi sudah meminta 17 Kementerian untuk terlibat dalam membangun desa, salah satunya dengan mengembangkan sarana pasca panen. Tapi karena masih dirasa kurang maka dibutuhkan peran swasta.

Dalan konteks itu, pihaknya meminta swasta untuk banyak terlibat dan akan dikenai insentif perpajakan yang tak memberatkan. Sehingga dengan kondisi itu harga-harga komoditas di satu desa dapat terjaga ketika panen berlangsung.

“Tentu saja dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakatnya. Apalagi jika desa sendiri fokus mengembangkan produk komoditasnya sesuai program pemerintah, one village one product, misalnya padi, kedelai, kentang dan sebagainya,” tegas Mendes.

Alasan pemerintah mendorong desa untuk fokus mengembangkan satu produk, bukannya satu provinsi yang melakukan itu, kata dia, karena alasan investasi. Dia mencontohkan, jika satu provinsi, misal Jawa Timur fokus mengembangkan komoditas jagung dengan produksi 20juta ton, maka membutuhkan investasi Rp60 triliun.

“Itu sangat memberatkan. Makanya kita minta one village one product. Itu sangat ringan. Karena pengusaha besar saat ini pun berawal dari investasi yang kecil. Jadi kapasitasnya 500 ton saja, berawal dari para start up di desa-desa,” jelasnya.

Indonesia menurutnya, tak perlu mengikuti negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang memiliki program satu negara bagian memiliki satu produk. Seperti Ohio fokus di kentang, Oklahoma kedelai dan jagung, dan lainnya.

Dengan kondisi tersebut, ditambah makin bertumbuhnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), ungkap dia, akan semakin menggenjot kemakmuran warga desa. Sehingga pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat.

“Hal itu akan membuat daya beli masyarakat desa akan berkontribusi kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini masih melemah,” pungkas Mendes.

 

*Bustomi

Artikel ini ditulis oleh: