Jakarta, Aktual.com – Penggunaan dana haji yang dipinjam oleh pemerintah untuk dijadikan sumber pembiayaan infrastruktur disebut tidak menjamin mendatangkan keuntungan. Untuk balik modal pun masih diragukan keberhasilannya.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira, menyatakan, dalih pemerintah yang menyatakan infrastruktur akan mendatangkan keuntungan merupakan omong kosong belaka.
Untuk infrastruktur yang dibangun dalam jangka waktu menengah saja, menurut Bhima, keuntungnan selambatnya dapat dirasakan dalam 3-5 tahun.
“Untuk infrastruktur jangka panjang bisa sampai 15 tahun, uang itu pun belum tentu balik juga, masih ada biaya operasional yg keluar dan segala macam, sehingga refund-nya cukup lama,” jelas Bhima dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Minggu (6/8).
Lebih lanjut, Bhima menegaskan bahwa pemerintah harus menyatakan secara jelas bahwa dana haji yang akan digunakan untuk membiayai infrastruktur merupakan bentuk pinjaman atau hutang negara kepada calon jamaah haji. Bagi Bhima, penegasan pemerintah sangatlah penting untuk menghindari pembodohan terhadap masyarakat, khususnya para calon jamaah haji.
“Ini bukan dana haji diinvestasikan kepada infrastruktur, tetapi dana haji dipinjam pemerintahan untuk dibangun infrastruktur,” tegasnya.
“Dan ini juga harus hati-hati karena ini sifatnya hutang pemerintah, (jadi) pemerintah juga harus menghitung bagaimana pengembaliannya,” tambahnya.
Pengembangan dana haji sebagai investasi memang diatur dalam Pasal 24 UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Hanya saja, pasal tersebut menyebut bahwa pengembangan dana haji ini hanya bisa dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan berdasar pada prinsip-prinsip syariah.
Sedangkan rencana pemerintah yang menggunakan dana haji sebagai pembiayaan proyek infrastruktur umum, justru tidak melibatkan BPKH, sehingga terindikasi sebagai pelanggaran hukum karena belum ada aturan turunan di bawah undang-undang yang mengatur hal tersebut.
Aturan turunan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) mengatur lebih spesifik mengenai pengelolaan keuangan haji.
“Yang paling penting aturan turunannya, (tapi) saya enggak setuju kalau aturan turunannya digunakan infrastruktur karena resikonya cukup besar dan ini bukan dari dana pemerintah,” paparnya.
“Kecuali, pemerintah bisa memberikan jaminan untuk pembangunan ini di dalam APBN dan tentu ini jadi beban bagi pemerintah APBN yang sudah defisit 2,92 persen,” imbuhnya.
Dalam beberapa tahun ini, pemerintah telah mengeluarkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam bentuk Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) sebagai pengembangan dana haji.
Menurut Bhima, sukuk merupakan investasi yang paling aman jika dibandingkan dengan investasi langsung seperti proyek infrastruktur jalan tol atau semacamnya.
“Memang sekarang yang paling rendah resiko, bisa dikontrol dan mendapat keuntungan setiap tahun masih sebatas sukuk,” kata dia.
Berdasar UU 34/2014, dana haji sejatinya dapat diolah BPKH bersama instansi atau BUMN tertentu guna memutarkan dana hingga mendatangkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan jamaah haji.
Namun demikian, Bhima mengingstkan agar investasi tersebut dikaji secara cermat dan hati-hati, agar nantinya tidak mengakibatkan kerugian yang justru menghilangkan dana dari jamaah.
“Kalau investasi langsung, misalkan BPKH bekerja sama dgn BUMN konstruksi untuk membangun infrastruktur, tentu resikonya cukup besar dan dana itu kan dalam infrastruktur yg begitu panjang, tidak bisa langsung dinikmati,” pungkasnya.
Pewarta : Teuku Wildan A.
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs