Rupiah masih terpuruk. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam meminta pemerintah dan Bank Indonesia segera mengantisipasi pelemahan nilai mata uang rupiah.

Menurutnya, pelemahan rupiah tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan berdampak serius kepada operasional korporasi.

“Dari sisi dunia usaha, pelemahan rupiah menyebabkan mereka menahan belanja modal dan barang karena biaya impor industri melambung,” kata Ecky di Jakarta, Jum’at (6/7).

Menurut Ecky, dampak lanjutan dari hal ini adalah terciptanya pengangguran besar-besaran akibat pengurangan jumlah karyawan.

Politisi PKS ini menambahkan, dari sisi suplai akan berdampak kepada keluaran ekonomi yang akan lebih rendah dari seharusnya.

Di tempat terpisah, Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) meminta pemerintah lebih gencar mengeluarkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah yang terus melemah, mengingat pengeluaran produksi terus naik khususnya biaya impor.

“Perlu ada antisipasi kemungkinan terburuk pada pekan depan. Jika rupiah terus melemah seperti hari ini perekonomian Indonesia bisa semakin menurun, karena industri banyak tergantung bahan baku impor,” kata Ketua BPP Hipmi Bidang Ekonomi, Muhamad Idrus.

Pelemahan rupiah yang semakin dalam beberapa hari terakhir, menurut dia, tidak hanya disebabkan faktor ekonomi eksternal karena dimulainya perang dagang antara AS dan China, namun juga disebabkan kendala ekonomi domestik.

Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, perusahaan milik negara yang operasionalnya menggunakan valuta asing siap menggunakan fasilitas lindung nilai (hedging) dalam menghadapi kondisi nilai tukar rupiah yang kembali melemah terhadap dolar AS.

“Pada dasarnya kita ada instrumen hedging yang bisa digunakan antar-BUMN melalui fasilitas swap untuk membantu pengelolaan risiko keuangan,” kata Rini dalam kunjungan kerjanya di Jawa Timur, 1 Juli lalu.

Menurut Rini, dalam melakukan lindung nilai harus dilihat dari sisi BUMN yang melakukan ekspor maupun impor karena memang membutuhkan dan menerima devisa dalam bentuk valuta asing.

Adapun produk-produk transaksi lindung nilai meliputi forward, swap, option, cross currency swap dan interest rate swap.

Ia menjelaskan, salah satu BUMN yang menggunakan valas dalam jumlah besar setiap hari yaitu PT Pertamina (Persero) yang mencapai sekitar 150 juta dolar AS atau setara dengan sekitar Rp2,5 triliun.

Selanjutnya, BUMN yang menerima pendapatan dalam valuta asing, antara lain PT Aneka Tambang Tbk (Persero), PT Bukit Asam Tbk (Persero), PT Timah Tbk (Persero), PT PGN Tbk (Persero), PT Pupuk Indonesia Tbk (Persero), PT Pelindo II (Persero) dan Garuda Indonesia.

“Fasilitas hedging bagi BUMN yang membutukan valas untuk keperluan impor, tetapi di sisi lain juga banyak BUMN yang mendapatkan dolar dari hasil ekspor. Ini bisa dimanfaatkan untuk meng-cover kebutuhan valas dalam negeri,” ujarnya.

Ant.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan