Jakarta, aktual.com – Pemalang, malam itu tanggal 23 Juli 2025, langit tampak kelam bukan karena mendung, tapi karena suasana yang memanas di Desa Pegundan. Suara azan dan zikir seolah tenggelam oleh riuh massa yang terpolarisasi. Di satu sisi, Laskar Sabilillah dari Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI-LS), dengan semangat membara menolak klaim keturunan Nabi oleh sebagian habaib. Di sisi lain, barisan simpatisan Front Pembela Islam (FPI) hadir untuk menyambut kedatangan ulama yang mereka hormati, Habib Rizieq Shihab. Sebuah ceramah keagamaan yang semestinya menjadi ruang dakwah, berubah menjadi medan bentrokan.
Ketegangan itu bukan tanpa akar. Ia tumbuh sejak tahun 2023, ketika seorang ulama kontroversial, KH. Imaduddin Utsman al-Bantani, menyampaikan sesuatu yang mengguncang tradisi panjang penghormatan umat kepada para habaib.
Dalam sejumlah ceramahnya, ia menyatakan keraguan terhadap keabsahan nasab marga Ba’alawi salah satu garis keturunan yang selama ini diyakini sebagai keturunan Rasulullah ﷺ. Ia mengklaim bahwa literatur klasik seperti al-‘Iqd al-Farid, al-‘Uqud ad-Durriyyah, dan berbagai kitab tabaqat ulama Yaman, tak mencatat nama-nama pendiri Ba’alawi sebagai bagian dari Ahlul Bait.
Pernyataan itu seolah menyulut api yang sebelumnya hanya berupa bara. Terlebih ketika Imaduddin pada Agustus 2024 memaparkan hasil riset DNA dalam sebuah forum yang viral di media sosial. Menurutnya, tes genetik terhadap lebih dari 180 individu dari klan Ba’alawi menunjukkan bahwa mereka memiliki haplogroup G, bukan J kode genetik yang selama ini dikaitkan dengan keturunan Bani Hasyim.
“Alhamdulillah, Ba’alawi sudah banyak yang dites DNA, dan secara saintifik, garis nasab itu tak tersambung ke Rasulullah,” Ujarnya.
Pernyataan itu membelah umat. Sebagian menganggapnya sebagai bentuk keberanian ilmiah dan kejujuran intelektual. Tapi bagi yang lain, termasuk tokoh-tokoh habaib dan sebagian besar ormas Islam, ini adalah penghinaan terhadap kehormatan Ahlul Bait. Rabithah Alawiyah pun mengundangnya dalam sebuah debat terbuka bertajuk Membedah Tulisan yang Membatalkan Nasab Ba’alawi pada September 2024. Namun, Imaduddin tidak hadir, dan malah menantang balik.
“Gak lah, mereka yang takut,” katanya.
Tokoh-tokoh ulama seperti KH. Idrus Ramli dan KH. Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menanggapi dengan sinis. Mereka meragukan kompetensi keilmuan Imaduddin dalam bidang nasab. “Ilmu itu ada sanadnya,” ujar Gus Fahrur.
“Gak bisa sembarangan orang menilai kalau tak punya kredibilitas dan otoritas,” lanjutnya.
Namun, gelombang dukungan terhadap Imaduddin tak surut. Para pengikutnya lalu membentuk organisasi PWI-LS, bukan hanya sebagai forum kajian akademik, tapi juga gerakan massa yang berani turun ke lapangan. Mereka mulai membongkar makam habaib yang dianggap tidak sah nasabnya, mendatangi majelis-majelis dzikir Ba’alawi, dan menuntut klarifikasi.
“Nasab Ba’alawi terputus, tidak valid secara saintifik maupun historis,” tegas salah satu juru bicara mereka, Kh. Muhammad Abbas Billy.
Sementara itu, para pendukung habaib memandang gerakan ini sebagai ancaman terhadap persatuan umat. Mereka menilai kritik ini bukan sekadar persoalan akademis, tapi bentuk provokasi yang bisa memecah belah masyarakat Muslim. Maka terjadilah bentrokan itu di Pemalang, ketika dua gelombang keyakinan saling bertubrukan, bukan hanya dalam argumen, tapi dalam fisik. 15 orang terluka, termasuk empat aparat yang berusaha meredam situasi.
Di tengah konflik ini, umat perlu bercermin pada sejarah Islam yang agung. Nabi Muhammad ﷺ pernah menghadapi kondisi masyarakat yang sarat kesukuan, kebanggaan terhadap nasab, dan permusuhan antar kabilah. Namun beliau datang membawa pesan yang menyatukan: bahwa kemuliaan manusia bukan pada darah, tapi pada takwa.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ، وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Bukan dari golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena fanatisme, dan bukan dari golongan kami orang yang mati dalam keadaan fanatisme.” (HR. Abu Dawud)
Nasab memang dihormati, tapi ketika ia menjadi alat untuk meninggikan diri dan merendahkan orang lain, maka ia telah keluar dari ruh Islam. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)
Fanatisme terhadap keturunan hanya akan menimbulkan kesombongan dan perpecahan. Sebaliknya, Islam memerintahkan kita untuk husnuzhan—berprasangka baik, memberi manfaat kepada sesama, dan mengedepankan tabayyun sebelum menghakimi.
Teladan dari Kaum Muhajirin dan Anshar
Nabi Muhammad ﷺ telah memberi kita contoh nyata bagaimana perbedaan latar belakang dapat disatukan oleh iman. Kaum Muhajirin dari Makkah, dan kaum Anshar dari Madinah, datang dari suku dan kebudayaan yang berbeda. Namun saat peristiwa hijrah, orang-orang Anshar membuka rumah, harta, dan hati mereka untuk saudara seiman.
Dalam sebuah kisah yang menyentuh, Sa’ad bin Rabi’ berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf:
“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya. Ambillah separuh hartaku dan pilihlah salah satu istriku untuk dinikahi setelah aku menceraikannya.”
Itu bukan sekadar ukhuwah, tapi pembuktian bahwa iman bisa menghapus batas-batas darah dan garis keturunan.
Bentrokan antara PWI-LS dan FPI seharusnya menjadi alarm keras bagi umat. Jika polemik tentang nasab telah menimbulkan pertumpahan darah, maka ada yang salah dalam cara kita memahami ajaran Islam.
Islam tidak melarang mencintai Ahlul Bait, tetapi ia juga tidak membenarkan pengultusan yang membutakan. Islam tidak melarang kritik akademis, tapi juga tidak membenarkan hujatan yang merusak ukhuwah.
Sudah saatnya umat Islam kembali kepada prinsip Rasulullah: menolak fanatisme, menumbuhkan husnuzhan, dan mempersatukan hati-hati yang terbelah.
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عَصَبِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَفَاخُرَهَا بِالْآبَاءِ، كُلُّكُمْ مِنْ آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
“Sesungguhnya Allah telah menghapus fanatisme jahiliyah dan kebanggaan terhadap leluhur. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















