Puluhan orang yang tergabung dalam Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok berunjuk rasa menolak rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan di depan kantor BPJS Kesehatan Cabang Depok, Jawa Barat, Senin (21/3). Mereka menuntut pemerintah membatalkan Perpres 19/2016 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena dinilai memberatkan rakyat miskin serta BPJS Kesehatan dianggap belum mampu memberikan pelayanan maksimal kepada pasien peserta BPJS. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Jamkes Watch Iswan Abdullah mengatakan pemerintah belum maksimalkan iuran BPJS Kesehatan dari pekerja formal, padahal di sana ada potensi untuk menutup defisit BPJS.

“Pekerja formal di Indonesia ada sekitar 54,1 juta, dan yang sudah menjadi peserta baru 13,9 juta,” kata dia di Jakarta, Senin (2/9).

Dia mengatakan potensi iuran dari pekerja yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan sekitar Rp9,1 triliun pertahun.

Hal itu bisa membantu menutup defisit BPJS Kesehatan tanpa harus menaikkan iuran BPJS Kesehatan, yang nantinya akan membebani rakyat.

Dia mengatakan banyaknya pekerja formal yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan karena belum kuatnya penegakan hukum untuk menindak perusahaan-perusahaan yang tidak mendaftarkan pegawainya.

Selain itu sistem alih daya juga membuat perusahaan mengakali pengeluaran dengan tidak mendaftarkan pekerja kontraknya.

Selain memaksimalkan potensi pekerja formal, diperlukan cara lain untuk menutup defisit anggaran, diantaranya menaikkan anggaran untuk penerima bantuan iuran (PBI).

“Saat ini penerima bantuan iuran dianggarkan satu orang Rp23 ribu, padahal menurut IDI idealnya Rp33.600 per orang,” kata dia.

Selain itu dia menilai APBN untuk BPJS Kesehatan tidak boleh dicicil, karena hal itu membuat BPJS Kesehatan akan mencicil membayar klaim dari rumah sakit.

BPJS Kesehatan dan Pemerintah juga harus melihat masih ada kenakalan yang dilakukan rumah sakit, seperti pembengkakan harga obat, kata dia.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Arbie Marwan