Jakarta, Aktual.co – Selasa 14 April 2015, merupakan momen yang istimewa bagi Global Future Institute. Dalam rangka menyambut Konferensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 19-24 April, lembaga kajian masalah internasional dan geopolitik yang berdiri sejak 11 Oktober 2007 tersebut, telah menggelar seminar terbatas betema: Revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955.
Dari sekitar 40 peserta seminar yang memenuhi auditorium Wisma Daria yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dua pejabat pemangku kepentingan (stakeholder) kebijakan luar negeri khususnya terkait penyelenggaraan KAA hadir dan ikut berpartisipasi dalam dialog dan tukar pikiran terkait tema tersebut. Andreas Sitepu, pejabat senior Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, dan Thomas Ardian Siregar, Kepala Museum KAA Bandung dan dan Ketua Asosiasi Museum Indonesia Wilayah Jawa Barat.
Selain itu, M Hasyim, staf senior bidang kajian Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), dan Entjeng Shobirin Nadj,Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Utama(PBNU).
Hampir semua peserta, baik narasumber maupun peserta aktif seminar, sepakat bahwa Dasa Sila Bandung masih relevan dan harus tetap dipertahankan, sehingga harus menjiwai dan menjadi sumber inspirasi negara-negara peserta KAA ke-60 baik yang berlangsung di Jakarta maupun Bandung.
Andreas Sitepu yang hadir dalam kapasitas mewakili Kementerian Luar Negeri RI, mengajukan beberapa poin penting antara lain:
1. Berterima kasih atas undangan untuk ikut partisipasi dalam seminar yang diselenggarakan Global Future Institute.
2. Dasa Sila Bandung yang diinspirasi oleh terbentuknya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga kini masih tetap relevan, karena selama ada Piagam PBB berarti Dasa Sila Bandung masih tetap relevan.
3. Dasa Sila Bandung masih relevan dalam hidup berbangsa di berbagai negara.
4. Setelah perang dunia kedua, kemudian perang dingin, KAA memberikan kontribusi yang luar biasa.
5. Ada kawasan lain yang sangat membutuhkan bantuan dari spirit KAA, yaitu kawasan Pasifik Selatan.
6. Kawasan Pasifik Selatan menjadi kawasan masa depan bagi negara-negara kuat (adidaya) dalam bidang food security dan energy security.
7. Negara-negara kuat melihat Asia secara geografis sebagai pintu masuk yang strategis.
8. Maka dari itu, jika kawasan ini diabaikan oleh negara-negara peserta KAA ke-60, maka Pasifik Selatan akan menjadi sasaran empuk berbagai kepentingan negara-negara besar.
Terkait dengan hal itu, Andreas Sitepu berjanji kepada Global Future Instittue maupun para peserta seminar, akan menyampaikan seruan GFI terhadap seluruh peserta KAA ke-60 maupun berkas-berkas seminar terkait lainnya, kepada para pimpinannya di Kementerian Luar Negeri.
Adapun, Thomas Ardian Siregar, Kepala Museum KAA, sebagai salah satu narasumber seminar menggarisbawahi beberapa poin penting:
1. Keberadaan museum KAA masih belum banyak dikenal oleh masyarakat bahkan oleh generasi muda. Yang menjadi catatan penting adalah bagaimana merangkul generasi muda untuk mengetahui sejarah bangsanya melalui museum. Bahkan masyarakat Bandung banyak tidak mengetahui adanya museum KAA.
2. Arti penting dari pelaksanaan KAA bagi Indonesia adalah seperti yang dinyatakan Prof. Wiswa Warnapala, Former Deputy Minister of Foreign Affairs of Sri Lanka : “The significance of the 1955 Asian African conference was that it signaled the final collapse of colonialism and the emergence of an international force capable of challenging the dominant role of the Western powers in the arena of international politics.”
“Sesuatu yang penting dari konferensi asia afrika tahun 1955 adalah bahwa hal itu ditandai runtuhnya kolonialisme serta munculnya kekuatan internasional yang mampu menantang peran yang dominan dari negara barat di arena politik internasional.” (terjemahan bebas)
3. Sementara dalam konteks Politik Luar Negeri RI, Konferensi Asia-Afrika memiliki arti strategis yakni… “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. (sebagaimana tercantum pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945)
4. Konferensi Asia Afrika juga mengimplementasikan prinsip politik luar negeri Indonesia yakni bebas dan aktif. Dengan artian, Bebas, bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan- kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila.
Aktif, bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian kejadian internasional, melainkan bersifat aktif seperti dalam hal turut menjaga perdamaian dunia. (Prof. Mochtar Kusumaatmaja, mantan Menteri Luar Negeri RI)
5. Dalam konteks global, pelaksanaan KAA sebagai kebangkitan Asia Afrika untuk memajukan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia – Afrika dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Kedua, Memberantas diskriminasi ras dan kolonialisme. Ketiga, Mendorong terbentuknya Gerakan Non-Blok (non-Aligned Movement) pada tahun 1961. Keempat, Memperbesar peranan Asia – Afrika di dunia internasional dan ikut serta mengusahakan perdamaian dunia.
6. Dasa Sila Bandung masih relevan. Hal ini seperti dikatakan oleh Duta Besar Dian Triansyah Djani bahwa “Dasasila Bandung masih menjadi panduan nilai dan semangat yang relevan dalam memecahkan berbagai masalah di dunia. Indonesia sendiri tetap berpegang pada prinsip ini dalam menjalankan hubungan diplomasi. Spirit itu tetap relevan hingga saat ini di mana sebagian besar negara di kedua benua Asia-Afrika tengah memiliki tantangan bersama di bidang ekonomi, pembangunan, kesejahteraan, kesehatan, terorisme, hingga pendidikan”
7. Tantangan untuk move-on setelah KAA 1955?
Pada peringatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika yang berlangsung 2005, setidaknya ada 106 negara Asia Afrika yang hadir. Dengan rincian 54 negara Asia dan 52 negara Afrika. Peringatan KAA 2005 setidaknya menyepakati terbentuknya New Asian African Strategic Partnership dan Solidaritas NAASP bagi Palestina.
Terselenggaranya KTT Asia Afrika 2005 dan dengan terbentuknya NAASP serta komitmen untuk secara konsisten membantu Palestina membuktikan bahwa Solidaritas Asia Afrika masih terus hidup dalam benak bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Suatu semangat untuk membangun kerjasama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pada kedua benua tersebut.
8. KTT Asia Afrika 2015 rencananya akan dihadiri oleh 109 negara Asia Afrika. Setidaknya ada 3 dokumen akhir yaitu, Bandung Message, Reinvigorating New Asia Africa Strategic Partnership dan Declaration on Palestine.
9. Pelaksanaan KTT Asia Afrika 2015 memiliki tantangan dan harapan.
Tantangan:
• Perubahan politik yang terjadi cukup cepat di masing – masing negara.
• Dinamika permasalahan internasional yang kian kompleks (dari segi aktor maupun isu).
• Perkembangan teknologi komunikasi yang juga turut mengubah gaya berinteraksi masyarakat global, termasuk gaya pemerintahan dan hubungan antar negara.
Harapan:
• Komitmen dari masing- masing negara agar dapat merealisasikan apa yang sudah diputuskan bersama dalam outcomes documents KTT Asia Afrika 2015.
• KTT 2015 diharapkan mampu menjawab tantangan yang dihadapi oleh negara Asia Afrika tidak hanya di masa kini tetapi juga di masa mendatang.
10. Upaya yang dilakukan Museum Konferensi Asia Afrika dalam mendiseminasikan nilai-nilai Bandung Spirit dengan berbagai cara:
a. Museum KAA menggelar ruang publik seluas-luasnya melalui berbagai kegiatan edukatif yang melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan dan memberdayakan generasi muda yang tergabung dalam komunitas-komunitas.
b. Pengembangan program Museum melalui konsep “Participatory Public” & “Community Development” .
c. Pameran Kolaborasi Budaya Indonesia-Jepang “Keris-Katana”, Peringatan Ulang Tahun Konferensi Asia-Afrika, Pekan Literasi Asia Afrika
11. Tiga prinsip KAA dalam mengkurasi berbagai program museum:
a. Kesetaraan,
b. Kerja sama,
c. Hidup berdampingan secara damai
M Hasyim, dari Lemhanas, juga menyatakan bahwa DASA SILA BANDUNG masih tetap relevan hingga sekarang. Bahkan Hasyim mengajak seluruh peserta seminar, termasuk Kementerian Luar Negeri, agar menyikapi tema pelaksanaan KAA. Hasyim merasa perlu mengingatkan forum seminar bahwa Indonesia yang saat ini merupakan negara yang hidupnya berasal dari hutang luar negeri, berpotensi menjadi “boneka negara kuat.”
“Karena itu, negara-negara pemberi hutang kepada Indonesia, bisa kita pastikan tidak mungkin memberikan hutang dengan cuma-Cuma atau tanpa pamrih. Apalagi hutang luar negeri Indonesia berasal dari negara-negara yang pernah menjajah Indonesia,” begitu tukas M Hasyim.
Menurut Hasyim, kenyataan inilah yang harus menjadi landasan pemerintah Indonesia untuk terus menggelorakan semangat anti kolonialisme dan anti imperialisme sebagaimana pernah dikumandangkan Bung Karno harus tetap dipertahankan. Apalagi di tengah-tengah gencarnya negara-negara asing melancarkan perang asimetris(perang melalui sarana-sarana non militer) terhadap Indonesia, maupun negara-negara di kawasan Asia-Afrika.
“Bayangkan, saat ini Lulusan-lulusan terbaik Universitas kita diberikan beasiswa dan bekerja sebagai tenaga ahli di negara lain, demikian M Hasyim mengakiri uraiannya.
Menanggapi tema seminar tersebut, Hasyim menginformasikan kepada peserta seminar dan para pimpinan GFI , Lemhanas akan segera menyelenggarakan seminar yang senafas dengan tema yang terkandung dalam Dasa SIla Bandung, pada saat ulang tahun Lemhanas.
Entjeng Shobirin, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU melalui seminar ini memberikan beberapa poin penting antara lain:
1. Mengenalkan museum kepada masyarakat semata-mata melalui pendekatan kultural saja tidaklah cukup.
2. Kompetensi diplomasi para diplomat Indonesia masih belum terbangkitkan dengan baik.
3. Terkait revitalisasi Dasa Sila Bandung 1955 harus dipresentasikan dan disosialisasikan secara lebih meluas kepada seluruh lapisan masyarakat. Dan harus dilakukan melalui pendekatan yang lebih politis.
4. Mengusulkan kepada Global Future Institute, agar menyelenggarakan seminar bertema sama namun dengan mengikutsertakan negara-negara peserta KAA, baik sebelum ataupun sesudah berlansungsunya KAA ke-60 mendatang.
5. Juga mengusulkan kepada Global Future Institute, untuk menggelar forum khusus membahas tema-tema yang sangat krusial terkait kemerdekaan Indonesia. Dasar petimbagannya adalah, Indoenesia sebagai negara berdaulat akan berusia 70 tahun pada 17 Agustus 2015. Dan usia 70 tahun bagi sebuah negara, jika merujuk pada sejarah negara-negara lain, benar-benar berada dalam situasi rawan, antara tetap bertahan sebagai negara yang berdaulat dan utuh, atau pecah sebagai sebuah bangsa.
6. Maka terkait dengan hal tersebut, DASA SILA BANDUNG dan Spirit KAA 1955 harus tetap dipertahankan karena masih tetap relevan. Bahkan Indonesia yang merupakan sponsor utama KAA 1955, justru yang saat ini paling berkepentingan dan memandang relevan DASA SILA BANDUNG 1955.
Bagi GFI, pandangan para narasumber maupun peserta aktif seminar, sungguh melegakan. Karena sehari sebelumnya, Global Future Institute dalam siaran persnya Senin 13 April 2015, sempat mensinyalir adanya beberapa indikasi yang bermaksud menggegelar Konferensi Asia-Afrika namun tidak didasari oleh Jiwa Dasa Sila Bandung 1955.
Giat Wahyudi, Ketua Dewan Pakar Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), mengajukan pokok pikiran sebagai berikut. Jika pemerintah Jokowi sungguh akan menlaksanakan TRISAKT (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Budaya) sebagaimana digariskan Bung Karno, maka 60 tahun Dasa Sila Bandung punya nilai strategis untuk menggalang kekuatan dan kebersamaan negara-negara berkembang seantero Asia-Afrika, yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia memadai.
Hal ini penting sekali, mengingat dewasa ini dibeberapa negara Asia dan Afrika tengah terjadi perubahan politik kekuasaan dengan cara kekerasan bersenjata yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Bandung.
Yang patut disayangkan menurut Giat Wahyudi, terhadap peristiwa peringatan 60 tahun Dasa Sila Bandung, publik sama sekali tidak tahu, apakah perhelatan yang tengah disiapkan pemerintah via panitia yang diketuai Luhut Binsar Panjaitan sekadar peringatan saja, atau sekaligus sebagai ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Negara-Negara Asia-Afrika?
Dalam pandangan Giat, yang saat ini juga sedang aktif melakukan riset arsip-arsip KAA 1955, bila yang akan ditempuh adalah peringatan sekaligus konferensi, berarti kita melakukan Konferensi Asia-Afrika (KA-A) ketiga. Pernyataan ini perlu diketahui publik, sebab KTT Negara-Negara Asia-Afrika yang diselenggarakan sekarang tidak boleh terputus dengan KAA pertama di Bandung dan KAA kedua yang akan dilaksanakan di Aljazair tahun 1965, tetapi tidak terselenggara karena terjadi kudeta di sana, kemudian dipindah ke Kairo-Mesir. Hal lain yang perlu dikritisi pada peringatan KA-A kali ini, terpampangnya poster Nelson Mandela di seantero Bandung, padahal Nelson Mandela bukan peserta KA-A 1955.
Giat mengingatkan para peserta seminar, kalau KTT Negara-Negara Asia-Afrika yang kini tengah disiapkan tidak dinyatakan sebagai KAA ketiga, berarti ada upaya terorganisir melalui institusi pemerintah untuk memanipulasi dan menggelapkan visi-misi dan sejarah Dasa Sila Bandung.
Akan hal itu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia perlu membuat pernyataan resmi agar khalayak menjadi mafhum. Di sini kita tidak boleh lengah, meski Blok Timur sudah bangkrut sejak 1989, namun neo-kolonialisme-neo-imperialisme belum gulung tikar, sebaliknya semakin merajalela. Apalagi dengan adanya tren global ketika Amerika Serikat berusaha memaksakan terjadinya kutub tunggal (MonoPoliar) baik dari segi politik, ekonomi, maupun pertahanan. Sehingga pada perkembangannya bisa berdampak buruk bagi negara-negara berkembang, khususnya bagi Indonesia.
Berbanding lurus dengan hal itu, yakni munculnya perubahan politik kekuasaan di Irak, Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman – yang bersimbah darah sarat kekerasan bersenjata; peseteruan di Afganistan, pemberontakan Macan dan Elang Tamil yang terus menghantui Srilanka, dan ketegangan antara Filiphina dan Malaysia, sudah saatnya dibahas dalam 60 tahun KA-A. Maka layak dibentuk Komisi Perdamaian, Komisi Kemanusiaan dan Komis anti Kejahatan trans-nasional.
Begitulah penegasan Giat Wahyudi, dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional yang cukup dekat dengan beberapa anggota keluarga besar Bung Karno dan pegait di Yayasan Pendidikan Sukarno(YPS).
Oleh Hendrajit, Global Future Institute
Artikel ini ditulis oleh: