Jakarta, Aktual.com – Sebagian masyarakat belum mengetahui fungsi Fidusia dalam pembiayaan kredit kendaraan bermotor. Terbukti, dalam beberapa kasus ditemukan pemahaman yang salah terkait jual beli kendaraan masih dalam masa kredit. Padahal Fidusia merupakan pengalihan hak kepemlikan atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
“Ada yang belum memahami, seperti ambil alih kredit yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Parahnya lagi, ada yang mengajukan kredit kendaraan dengan data palsu. Hal itu melanggar sanksi pidana pasal 35 UU Jaminan Fidusia bahwa memalsukan, mengubah, menghilangkan atau memberi keterangan menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia,” ujar Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno di Jakarta, Rabu (5/9).
Pelaku yang terbukti melanggar UU Jaminan Fidusia pasal 35 diancam dengan penjara 1 hingga 5 tahun dengan denda Rp10 juta hingga Rp100 juta. Sedangkan pasal 36 menyebutkan bahwa pemberi fidusia (debitur/Pemilik kendaraan) apabila mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan barang objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis dari penerima Fidusia diancam penjara maksimal 2 tahun dan denda maksimal Rp50 Juta.
“Saya sering berbincang dengan Kepolisian, curanmor saat ini tergolong kecil. Modusnya bukan pencurian, tapi mengakali atau pemalsuan data untuk kredit. Namun yang saat ini meresahkan dan membingungkan adalah eksekusi kendaraan di tengah jalan. Padahal eksekusi tersebut karena debitur telah bayar cicilan. Bahkan ada yang beli kendaraan dari kredit orang lain,” tambahnya.
Sebelum eksekusi kendaraan di jalan, lanjutnya, Fidusia harus sudah memberikan langkah-langkah pemberitahuan dan pemanggilan kepada debitur. Apabila tidak ada respon, maka akan dieksekusi di tempat ditemukan kendaraan tersebut. Ketika eksekusi, ada beberapa syarat yang harus dibawa seperti surat peringatan, sertifikat fidusia dan sertifikasi atau surat kuasa untuk melakukan eksekusi.
“Perusaahan Fidusia (leasing) kalau hendak melakukan eksekusi harus membawa sertifikat fidusia. Kalau tidak membawa, berarti dia melanggar kode etik,” jelasnya.
Kepala Departemen Pengawas IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan menegaskan bahwa eksekusi merupakan jalan kedua (Second Way). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tetap mendorong langkah pertama, yaitu Fidusia memilih bisnis model yang sesuai dengan target market untuk menghindari eksekusi. Misalnya, mendorong Fidusia tidak masuk pada wilayah-wilayah tertent yang memiliki historis debitur kurang sehat. Sehingga perusahaan pembiayaan bisa lebih hati-hati saat menyalurkan kredit di wilayah tersebut.
“Kami lebih mendorong pengelolaan risiko lebih awal. Namun, ketika langkah pertama gagal. Maka langkah kedua itu terserah pada Fidusia,” ujarnya.
Kasubdit Jaminan Fidusia Kementerian Hukum dan HAM Iwan Supriadi mengatakan penggunaan jaminan fidusia dalam mitigasi risiko pembiayaan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Penambahan pembelian kendaraan secara kredit menjadi salah satu faktor pendorong.
“Pada 2018 ini sudah mencapai 5,5 juta pendaftar fidusia. Pada 2016 mencapai 7,5 juta dan pada 2017 mencapai 8 juta. Ini karena meningkatnya kredit motor mobil untuk transportasi online,” tambahnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka