Jakarta, Aktual.com – Keluarga tersangka penyerangan pastor di gereja Katolik di Medan, Sumatera Utara, IAH, didampingi tim penasihat hukum dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta, Jumat (23/9).
Mereka minta LPSK merekomendasikan IAH agar menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus yang membelitnya.
Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi, Rivai Kusumanegara dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/9), mengungkapkan, perbuatan jahat IAH dilakukan karena ada pengaruh dari orang lain di luar dirinya sendiri.
Di sisi lain, dengan pendampingan dari PBH Peradi, orang tua dan Badan Pemasyarakatan (Bapas) Medan, IAH akhirnya memberikan keterangan secara jujur dan terbuka.
“IAH sudah mau secara jujur dan terbuka memberikan keterangan terhadap peristiwa yang dialami, termasuk pihak-pihak yang memengaruhi dirinya. Tentunya kondisi itu kriteria dari seorang JC dan karenanya kami mohon agar LPSK dan penyidik dapat mempertimbangkan permohonan ini,” kata Rivai.
Menurut Rivai, pada kenyataannya, IAH sudah bekerja sama dengan penyidik untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus penyerangan tokoh agama di sebuah tempat ibadah di Medan beberapa waktu lalu. Selain itu, IAH juga masih di bawah umur dan dihadapkan dengan ancaman pidana yang cukup tinggi sampai hukuman mati.
Masih kata Rivai, IAH dikenakan Pasal 7 dan 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman hingga hukuman mati. Untuk itulah, pihaknya berharap dengan segala keterangan yang sudah disampaikan secara jujur dan mengakui kesalahannya, IAH dapat memperoleh status JC sehingga dapat memperingan hukuman.
“Bagaimana pun IAH anak bangsa yang pernah tergelincir, berbuat salah dan mengakui kesalahannya,” ujar dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kasus yang menimpa IAH ini sangat menarik bagi LPSK. Selain itu, LPSK juga memiliki MoU dengan BNPT terkait perlindungan saksi dan korban kasus terorisme, serta pelaku yang bekerjasama (JC). Dalam kasus ini, pelaku IAH masih anak dan kesadarannya melakukan sesuatu biasanya dipengaruhi atau dibangun orang lain.
“Syarat menjadi JC harus ada pelaku lain (utama). Untuk kasus ini yang baru diproses baru satu orang, akan tetapi pelaku lain jangan sampai dilepaskan. Sebab, anak biasanya tidak sendiri dalam melakukan sesuatu, melainkan ada pihak-pihak lain yang menggerakkan. Pertanyaannya, apakah ada pelaku lain dan apakah mereka sudah sudah atau akan disidangkan,” kata Semendawai.
Hal penting lainnya, menurut Semendawai, perlu juga disuarakan bersama khususnya dengan BNPT agar pelaku terorisme anak tidak sampai digabung tempat penahanannya dengan orang dewasa karena dikhawatirkan bisa terjadi transfer ideologi radikal di antara mereka.
“Untuk kasus IAH, akan dibahas di internal LPSK, apa yang bisa dilakukan,” tutur dia.
Soemitro
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan