Suasana jual beli aneka ikan laut dan olahan di Sentra Ikan Bulak (SIB) Surabaya, Jawa Timur, Rabu (4/5). SIB yang mampu menampung sekitar 240 lapak tersebut diharapkan mampu mengubah perekonomian nelayan di kawasan tersebut menjadi lebih baik. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/pd/16

Jakarta, Aktual.com – Kondisi menurunnya daya beli masyarakat seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi kondisi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Peneliti Institute Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira mengatakan jika pemerintah dapat memulainya dengan meringankan pajak masyarakat.

“Iya relaksasi jadi prioritas utama,” kata Bhima kepada Aktual.com di Jakarta, Senin (9/10).

Menurut Bhima, jika memberlakukan keringanan pajak untuk masyarakat, setidaknya pemerintah telah memberikan insentif lebih meningkatkan daya beli masyarakat yang tengah lesu. Hal ini, jelasnya, sangat berarti bagi ritel, khususnya bagi pelaku ritel yang tergabung dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

“Jadi ketika ekonomi lesu, pajak justru diberi keringanan dan UMKM diberi insentif. Ujungnya orang semangat belanja dan pengusaha mulai ekspansi,” terangnya.

Saran Bhima sendiri sangat kontras dengan sikap pemerintah yang justru cenderung meningkatkan pemasukannya melalui pajak. Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahkan sempat mengutarakan rencananya untuk memberlakukan pajak pada barang elektronik seperti ponsel.

“Sekarang ekonomi sulit tapi pajak makin agresif itu yang buat masyarakat malas belanja,” ujarnya menyudahi.

Sebagaimana diketahui, menueunnya daya beli masyarakat dapat terlihat dari pertumbuhan industri ritel yang tidak mencapai 4% pada dua kuartal awal 2017, yakni 3,9% pada kuartal I 2017 dan 3,7% pada kuartal selanjutnya.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan kuartal yang sama pada 2016, di mana ritel masih tumbuh sebesar 11,3% pada kuartal I 2016 dan 9,2% pada kuartal II 2016.

 

Laporan Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh: