Jakarta, Aktual.com – Daya beli masyarakat yang terus menurun sudah diakui oleh pemerintah. Namun begitu, pemerintah terutama Kementerian Keuangan melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati malah menyebut kondisi itu perlu diwaspadai, tapi jangan dikhawatirkan secara berlebihan.
“Soal persepsi mengenai daya beli ini, memang kita lihat pertumbuhan konsumsi di kuartal ketiga itu mencapai 4,93%. Itu memang perlu diwaspadai, namun jangan jadi hal yang dikhawatirkan secara berlebihan,” kata Menkeu enteng, di Jakarta, Rabu (22/11).
Karena kan masih banyak debat, seperti apakah itu karena ada pergesran konsusminsaat lebaran, mereka belanjanua pindah ke online yang belum ter-capture, sehingga mendukung daya beli menurun.
“Pemerintah saat ini masih mencari tahu apa sih yang menentukan penurunan daya beli itu. Pertama, soal gaji. Kalau tidak terjadi lay off dan menunjukkan pertumbuhan upah riil itu tetap positif. Artinya penghasilan mereka itu kuat tidak setelah ada inflasi,” jelas Sri Mulyani.
Penghasilan yang kecil itu, kata dia, lebih banyak di miliki oleh pekerka di ektor informal. Karena justru di sektor formal masihnsedikit.
“Makanya peemerintah melakukan massive program untuk genjot daya beli terutama keluarga dengan 20 persen terbawah dalam piramida Indonesia. Namun kami juga melihat ada juga fenomena confident (kepercayaan publik ke pemerintah),” klaim dia.
Disebut Menkeu, daya beli sebetulnya ada cuma confident-nya yang menurun. “Jadi mereka itu punya confident. Dari satu indikator yang ada, seperti confident consumer itu tinggi tapi mereka tidak untuk dieksusi. Ini seperti kelompok milenial, sehingga mereka itu dananya digunakan untuk banyak saving,” dia menjelaskan.
Termasuk juga, Menkeu masih tetap ngotot bahwa pelemahan daya beli itu karena ada shifting ke belanja online. Hal ini pun harusnya bisa disurvey oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Jangan-jangan, kata Menkeu, BPS belum bisa cepat dan tepat untuk capture fenomena ini.
“Karena jangan lupa kalau bicara konsumsi, basket of consumption survey itu dilakukan per 10 tahun,” kata dia.
Dan bagi pemerintah untuk menggenjot daya beli ini pemerintah masih melakukan analisa. Karena kalau salah baca indikator, pemerintah bisa salah bereaksi.
“Karena data yang ada (soal daya beli), dari penerimaan perpajakan itu, semua growth, bahkan double digit. Itu suatu fenomena. Dan kita tak mungkin, kita bagus-bagusin pajak, itu kan uang rakyat. Itu fakta yang dikantongi pemerintah,” kata dia seolah enggan untuk mengakui adanya pelemahan daya beli.
Meski begitu, kata dia, pemerintah tetap melakukan program jaring pengaman sosial untuk mengantisipasi penurunan daya beli agar tak terlalu anjlok.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh: