Jakarta, aktual.com – Dalam Hilyatul Awliya, terdapat sebuah cerita yang disampaikan oleh ayahnya Ibrahim bin Yazid al-Taimi. Cerita ini menceritakan bahwa ‘Ali pernah kehilangan baju besi yang memiliki nilai sangat tinggi baginya. Ternyata, baju besi tersebut ditemukan berada di kepemilikan seorang Yahudi.
Kisah ini disampaikan dalam variasi versi yang berbeda, beberapa menyebutkan bahwa orang yang memiliki baju besi tersebut adalah seorang Yahudi, sementara yang lain menyebutkan bahwa orang tersebut adalah seorang Nasrani. Meskipun terdapat perbedaan dalam detail, inti kisah ini menyiratkan pesan penting bahwa seorang pemimpin harus menunjukkan sikap adil, bahkan dalam memperlakukan non-Muslim.
Baju besi yang dikenali oleh Ali itu awalnya akan dijual di pasar oleh individu non-Muslim tersebut. Ketika Ali melihat baju besi tersebut di tangan orang tersebut, dia mendekatinya dan mengatakan, “Ini adalah baju besi saya, beberapa hari yang lalu ia terjatuh dari unta saya di tempat itu (Ali menunjuk suatu tempat).”
Non-Muslim itu menyanggah klaim Ali dan meminta keadilan di hadapan hakim. Ali menyetujui permintaan tersebut dan membawa kasus mereka ke pengadilan. Pada saat itu, hakim yang menangani kasus tersebut adalah Syuraih.
Ketika Ali mendekat, Syuraih berpaling dari posisinya, dan Ali menyampaikan, “Jika lawanku adalah seorang Muslim, aku akan setara dengannya di persidangan, tetapi aku mendengar Rasulullah berkata, ‘Jangan setara dengan mereka (orang Yahudi) di persidangan, tetapi berlindunglah bersama mereka di jalan yang paling sempit. Jika mereka menangkapmu, maka pukullah mereka, dan jika mereka menyerangmu, maka perangilah mereka!'”
Syuraih berkata, “Apapun yang kau inginkan wahai Amirul Mukminin.”
‘Ali berkata, “Baju besiku jatuh dari unta dan orang Yahudi ini mengambilnya.”
Syuraih berkata, “Bagaimana menurutmu, Yahudi?”
Orang tersebut berkata, “Baju besiku ini milikku.”
Syuraih berkata, “Demi Allah, kamu benar wahai ‘Amirul Mukminin, itu adalah baju besimu, tetapi diperlukan dua orang saksi.”
Lalu ‘Ali memanggil Qanbar, hamba sahayanya, dan Hasan bin ‘Ali supaya mereka menyaksikan bahwa itu adalah baju besinya.
Syuraih berkata, “Adapun kesaksian hamba sahayamu, kami telah menerimanya, tetapi kesaksian anakmu, kami tidak menerimanya.”
“Aku tidak meragukan kejujuranmu, wahai Amirul Mu’minin, akan tetapi engkau tetap harus mendatangkan dua saksi yang bersaksi bahwa baju besi itu milikmu.”
‘Ali pun berencana mendatangkan anaknya, Hasan, sebagai saksi. Syuraih menjawab bahwa menjadikan anak sebagai saksi dalam persidangan adalah hal yang dilarang. ‘Ali pun kaget, seorang yang ahli surga, bahkan tidak boleh dijadikan saksi?!” Kata ‘Ali.
‘Ali melanjutnya, “Aku pernah mendengar dari Rasulullah saw:
الحسَنُ والحُسَيْنُ سيِّدا شَبابِ أَهْلِ الجنَّةِ
Artinya, “Hasan dan Husain adalah pemudanya ahli surga.”
Syuraih tetap teguh dalam menolak permintaan Ali untuk menjadikan Hasan sebagai saksi, karena anaknya adalah satu-satunya yang tahu bahwa baju besi tersebut adalah milik Ali. Meskipun melalui proses birokrasi yang dianggap cukup sulit, Ali akhirnya bersedia melepaskan baju besi kesayangannya.
“Ambil saja,” ujar Ali kepada orang tersebut karena tidak ada saksi. Orang tersebut kaget dengan sikap tiba-tiba Ali yang rela melepaskan baju besinya.
Tiba-tiba, non-Muslim tersebut berkata kepada Ali, “Aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul Mukminin.”
Lalu dengan heran, dia mengatakan, “‘Amirul Mukminin telah menggugatku di hadapan hakimnya, dan hakim tersebut malah memvonisnya! Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Akibat melihat keadilan dalam persidangan antara Ali dan Syuraih, dan putusan yang diberikan dengan kebenaran, serta sikap Amirul Mu’minin yang menerima putusan hakim tanpa keberatan, orang non-Muslim itu pun memutuskan untuk masuk Islam.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain