Opsi penambahan utang yang agresif itu, kata dia, justru jadi persoalan baru. Apalagi, realisasi pembiayaan utang juga sudah mencapai 58,9% per Mei 2017.
“Tentu saja, agresivitas utang ada risikonya bagi perekonomian, selain beban cicilan kedepannya juga ada resiko crowding out alias perebutan dana di pasar. Dampaknya, perbankan yang paling terkena, bunga kredit sulit turun dan likuiditas mengetat,” jelas dia.
Sepertinya, kata dia, agresivitas utang juga akan terjadi hingga 2019 nanti. Makanya outlook pemerintah juga di 2019 itu rasio utangnya akan tembus di atas 32%. “Jadi, kalau pemerintah klaim itu (rasio utang) masih aman di bawah 30% ya cuma tahun ini aja,” ucap Bhima.
Bahkan, sebetulnya itu bukan cuma rasio utang saja yang dipersoalkan tapi penggunaan utangnya pun bermasalah. Klaim bahwa utang untuk kegiatan produktif sangat lemah, termasuk untuk infrastruktur.
“Faktanya realisasi belanja modal selama dua tahun terakhir hanya mencapai 78-80%. Apalagi penggunaan utang juga terbukti kurang efisien, karena Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) belanja pemerintah juga masih di atas Rp24 triliun,” cetus dia.
Dia menyebut, sikap rezim Joko Widodo (Jokowi) yang menumpuk utang itu sangat aneh. “Karena, kebijakan utangnya sendiri bisa disebut utang mubazir dilihat dari penyerapnnya itu. Terutama untuk dana perimbangan masih belum optimal,” jelas Bhima.
Rezim utang Jokowi ini terlihat dari selama kurang dari tiga tahun sudah menumpuk utang lebih dari Rp1.000 triliun atau per Juni 2017 mencapai Rp3.706,52 triliun. Angka itu naik Rp34,19 triliun dari bulan Mei 2017 yang di posisi Rp3.673,33 triliun.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid