(ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dalam waktu dekat akan menerbitkan Perppu untuk mengubah besaran defisit anggaran dari semula yang diatur dalam UU hanya maksimal 3%, akan dilonggarkan menjadi 5% dari PDB.

Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo Selasa (25/3) kemarin, bahwa hal tersebut perlu dilakukan karena seiring menurunnya kinerja perekonomian Indonesia akibat wabah virus corona yang tengah melanda.

Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun ikut merekomendasikan pemerintah perlu mengubah APBN 2020 dengan pelebaran defisit hingga 5% dari PDB.

Ekonom Senior, Rizal Ramli mengkritik rencana ini sebagai akal-akalan pemerintah karena gagal menjaga stabilitas rupiah yang anjlok sampai Rp17.000 per USD, sehingga jadi kesempatan untuk meminjam ke IMF.

“Aji mumpung, pinjam lagi dari IMF. Dasar (Sri Mulyani) SPG IMF, lho bukan situ yang jual angin sorga bisa narik Rp11.000 trilliun dari luar negeri?,” kata Mantan Menko Ekuin era Presiden Gusdur ini, Rabu (25/3).

Padahal kata Rizal, ketentuan defisit maksimal 3% harus diikuti Pemerintah sesuai UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

“Batas maximal defisit itu mau ditingkatkan SMI (Sri Mulyani) menjadi 5%. Dasar Ratu utang,” sindirnya.

Menurut Mantan Menko Kemaritiman ini dari awalnya pemerintah memang berniat berutang ke IMF. Padahal dari dana realokasi anggaran ditambah accumulated SAL (sisa anggaran lebih, tidak terpakai) cukup besar.

“Karena yang sangat mereka perlukan saat ini untuk doping rupiah lagi,” lanjut Rizal.

Senada dengan Rizal, Ekonom Senior INDEF Dradjad Wibowo menilai, pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 5% dari PDB tidak diperlukan.

Ia menyarankan agar pemerintah fokus terlebih dulu merealokasi anggaran yang ada dan memastikan anggaran tersebut terserap optimal untuk belanja barang-barang dan alat terkait kesehatan.

“Tidak perlu lah sampai defisit 5%. Realokasi anggaran saja dulu yang maksimal dan pastikan itu semua dibelanjakan untuk public health spending,” tutur Dradjad, Selasa (24/3).

Dalam kondisi krisis kesehatan akibat pandemi seperti ini, Dradjad menilai, salah satu cara utama menyelamatkan perekonomian adalah melalui belanja kesehatan publik secara besar-besaran. Realokasi anggaran harus diprioritaskan pada upaya pengadaan untuk alat Rapid Test, pelaksanaan Test Massal Corona, Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas medis, pengadaan tempat tidur dan kamar rumah sakit, tambahan petugas medis, obat-obatan, masker dan lain sebagainya.

Selain itu, pemerintah juga mesti memperhatikan kesiapan rumah sakit-rumah sakit daerah yang kapasitasnya terbatas menangani virus corona.

Realokasi anggaran, lanjut Dradjad, juga kemudian perlu diarahkan pada upaya mengantisipasi PHK, bantuan sosial masyarakat, subsidi bunga KUR dan pinjaman, serta operasi pasar untuk bahan pangan.