Jakarta, Aktual.com – Pelemahan nilai tukar rupiah selama beberapa tahun seharusnya diimbangi dengan menahan laju impor, sehingga bisa memperkuat neraca perdagangan maupun neraca berjalan. Namun kedua neraca tersebut jebol karena memang terjadi kekosongan kebijakan ekonomi untujk menahan tekanan eksternal terhadap sektor eksternal dari ekonomi Indonesia.
“Indonesia punya masalah akut yang tidak mampu diperbaiki dan tidak ada kebijakan sistematis untuk mengatasinya selama ini, yakni defisit neraca berjalan. Inilah sesungguhnya penyakit struktural yang tidak diatasi dan tidak pernah dicoba untuk dikurangi “magnitute” defisitnya,” ujar Ekonom Senior Indef, Didik J Rachbini di Jakarta, Minggu (16/9).
Menurutnya, pemerintah membiarkan penyakit struktural ini terus berjalan sembari melakukan make up dengan menyatakan bahwa pengelolaan makro ekonomi dilakukan secara sangat berhati-hati dan pruden. Padahal defisit neraca berjalan tahun lalu mencapai tidak kurang dari 17,3 milyar dollar AS dan tahun depan diperkirakan lebih dari 24 milyar dollar AS jika kebijakan ekonomi dilakukan secara enteng seperti sekarang (as usual).
“Penyakit struktural selain defisit neraca jasa, sudah menjangkiti neraca perdagangan. Pada saat ini kita mengalami defisit perdagangan tidak kurang dari USD3 miliar. Jadi, penyakit struktural ini jangan dianggap enteng dengan mengatakan kebijakan makro ekonomi sudah dijalankan secara berhati-hati dan pruden,” jelasnya.
Selama indikator makro tersebut memburuk, lanjutnya, maka seribu kata pruden dan berhatai-hati tidak akan punya makna karena ekonomi akan terus memburuk. Tetapi karena hebatnya penguasaan media dan media sosial, maka kebijakan yang ada dinilai sangat berhati-hati dan prudent.
Selain sektor luar negeri, sektor pemerintah juga mengalami masalah yang sama, yakni defisit primer anggaran APBN. Defisit ini artinya, APBN kita untuk membiayai pengeluarannya sendiri tidak cukup, apalagi untuk membayar utang. Karena kedalaman defisit ini, maka pemerintah harus mencari utang untuk tidak hanya menutup utang itu sendiri, tetapi juga menutup defisit dirinya sendiri.
“Karena itu, utang yang harus dibayar bunga dan pokoknya semakin besar dari tahun ke tahun. Pembayaran bunga tidak bisa dihindari, tetapi pembayaran pokok diurai ke depan dan ditunda pembayarannya sehingga akan menjadi beban pada pemerintahan selanjutnya. Apakah dengan kondisi seperti ini bisa dikatakan prudent dan sangat berhati-hati,” jelasnya.
Menurutnya, Presiden Jokowi terlihat belum menyadari bahwa ekonomi sakit, mungkin karena para menterinya menyodorkan data yang dipoles atau dilihat dari sisi khusus sehingga ekonomi tidak kelihatan sakit.
“Jika dilihat dari data di atas, maka Indonesia sebenarnya sekarang tengah mengalami penyakit kritis ganda empat bidang, yakni: defisit neraca jasa, defisit neraca berjalan, defisit neraca perdagangan, dan sekaligus defisit primer APBN. Indikator kritis ini adalah tanda-tanda ekonomi Indonesia bisa dan bukan tidak mungkin masuk ke dalam jurang krisis. Jangan bermain dan bohong dengan statistik sebab itu buruk untuk mencari solusi kebijakan yang sesungguhnya. Lebih baik kita mengatakan sakit sehingga kita bisa mencari obatnya daripada mengatakan tidak sakit padahal sakit sehingga lupa mancari obatnya,” pungkasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka