Defisit Rp32,8 T
Di balik hitung-hitungan Menteri Sri Mulyani atas usulan kenaikan iuran yang sebagian mencapai dua kali lipat tersebut, ada potensi defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp32,8 triliiun untuk tahun anggaran 2019.
BPJS Kesehatan dalam RKAP 2019 memproyeksikan akan mengalami defisit sebesar Rp28,3 triliun, yang kemudian direvisi perkiraan defisitnya menjadi Rp32,8 triliun. Potensi defisit Rp32,8 triliun tersebut bisa terjadi apabila jumlah iuran tetap sama, kepesertaan mengalami peningkatan seperti yang ditargetkan, dan proyeksi pemanfaatan layanan kesehatan rawat inap dan rawat jalan tetap tinggi seperti yang telah diperhitungkan.
Sejak 2014 hingga 2018 BPJS Kesehatan memang sudah mengalami defisit keuangan dalam menjalankan program JKN. Terakhir pada 2018 pemerintah telah memberikan suntikan dana untuk menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp10,3 triliun, itu pun masih ada sisa defisit tahun 2018 sebesar Rp9,1 triliun yang dibebankan pada tahun 2019 sehingga total potensi defisit tahun ini membengkak menjadi Rp32,8 triliun.
Kenapa bisa defisit begitu besar? Berdasarkan hasil audit laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun anggaran 2018 oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan disebutkan ada ketidaksesuaian antara pendapatan dari iuran peserta dengan pengeluaran untuk layanan kesehatan yang diberikan pada peserta.
Sri Mulyani mengatakan penyebab paling utama defisit BPJS Kesehatan karena iuran peserta JKN masih terlalu kecil namun memberikan banyak manfaat layanan kesehatan kepada peserta.
Menteri yang juga akrab disapa Ani tersebut pun mengatakan seharusnya tarif iuran BPJS Kesehatan mengalami review setiap dua tahun sekali sebagaimana diamanatkan pada undang-undang. Namun dia mengakui pada prosesnya kebijakan review iuran tersebut harus tertunda karena menyangkut politis dan melihat beban masyarakat.
Selain itu, adanya ketidakpatuhan masyarakat yang hanya menjadi peserta BPJS Kesehatan saat sakit dan menjalani perawatan di RS, namun setelah sembuh tidak melanjutkan membayar iuran.
Selanjutnya tingkat kolektabilitas iuran segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) juga cukup rendah yaitu masih 54 persen, sementara tingkat penggunaan layanan kesehatannya cukup tinggi. Artinya, tingkat kepatuhan peserta BPJS Kesehatan dari segmen pekerja mandiri hanya baru separuhnya.
Di lain hal, masih banyaknya masyarakat Indonesia yang sakit-sakitan dilihat dari pembiayaan penyakit katastropik seperti penyakit jantung, kanker, stroke dan lainnya yang mencapai 20 persen dari total pembiayaan layanan kesehatan.
Dalam audit BPKP juga dilaporkan adanya inefisiensi pada pengelolaan sistem JKN mulai dari dana kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mengendap di daerah karena tidak terpakai, pembayaran klaim RS yang lebih tinggi dari yang seharusnya, dan dugaan tindak kecurangan atau fraud.
Dari berbagai permasalahan yang menyebabkan defisit hingga Rp32,8 triliun tersebut, BPKP menganjurkan BPJS Kesehatan bersama kementerian lembaga terkait untuk melakukan pembenahan. Pembenahan tersebut mulai dari pembersihan data peserta ganda, pencegahan fraud, review kelas rumah sakit yang selama ini menyebabkan pembayaran klaim lebih tinggi dari seharusnya, pemanfaatan dana mengendap di pemerintah daerah, peningkatan kolektabilitas iuran dan sebagainya.
Pembenahan manajemen tersebut dapat mengurangi defisit BPJS Kesehatan dari Rp32,8 triliiun menjadi Rp27,8 triliun atau hanya efisien sekitar Rp5 triliun saja. Oleh karena itu pemerintah menetapkan kenaikan iuran peserta PBI dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu mulai Agustus 2019 yang dibiayai oleh negara, ditambah dengan kenaikan iuran TNI-Polri-ASN dengan iuran 5 persen dari total gaji Rp8 juta menjadi 5 persen dari total gaji Rp12 juta yang diterapkan per Oktober 2019 dan juga ditanggung oleh pemerintah.
Kebijakan kenaikan iuran ditambah pembenahan manajemen sistem JKN tersebut dapat memberikan dana tunai kepada BPJS Kesehatan sebesar Rp18,5 triliun. Sehingga defisit yang tadinya diproyeksikan Rp32,8 triliung tinggal menyisakan defisit di 2019 sebesar Rp14,3 triliun.
Berdasarkan perhitungan Menteri Keuangan, usulan kenaikan iuran seperti yang direkomendasikan oleh DJSN hanya akan menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan pada 2020 dan defisit akan kembali terjadi pada 2021.
Oleh karena itu Menkeu Sri Mulyani mengusulkan adanya diferensiasi untuk peserta kelas 2 dan kelas 1 yang iurannya naik menjadi masing-masing Rp110 ribu dan Rp160 ribu. Sri Mulyani mengisyaratkan perbedaan iuran antara peserta kelas 3 dengan kelas 2 dan kelas 1 ialah bahwa pemerintah tetap memberikan jaminan kesehatan secara nasional dan relatif masih terjangkau masyarakat dengan iuran Rp42 ribu per bulan.
“Untuk memberikan sinyal, sebetulnya yang ingin diberikan pemerintah kepada seluruh masyarakat dalam Universal Health Coverage (UHC) adalah standar kelas tiga, sehingga kalau mau naik kelas ada konsekuensinya,” kata Menkeu Sri Mulyani.
Dengan penerapan usulan iuran dari Kementerian Keuangan pada Januari 2020, yaitu Rp42 ribu untuk PBI dan kelas 3, Rp110 ribu untuk kelas 2, dan Rp160 ribu untuk kelas satu, diharapkan BPJS Kesehatan akan memiliki surplus sebesar Rp17,2 triliun pada 2020. Surplus Rp17,2 triliun tersebut dapat digunakan untuk menambal sisa defisit 2019 sebesar Rp14,3 triliun, dan masih tersisa surplus Rp3 triliun.
Bahkan Kementerian Keuangan memproyeksikan keuangan BPJS Kesehatan pada 2021, 2022, dan 2023 akan surplus masing-masing sebesar Rp11,59 triliun, Rp8 triliun, dan Rp4,1 triliun dengan mempertimbangkan kenaikan jumlah peserta dan kenaikan jumlah kunjungan masyarakat ke fasilitas kesehatan. Dan pada akhirnya iuran BPJS Kesehatan bisa dilakukan review kembali pada 2025.
Artikel ini ditulis oleh:
Zaenal Arifin