Jakarta, Aktual.com – Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) merekomendasikan draft sandingan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja untuk memprioritaskan kepentingan nasional agar tercapainya keadilan sosial bagi seluruh pekerja dan rakyat Indonesia. Di dalam RUU Cipta Kerja pemerintah mengusulan penghapusan (30 pasal), pengubahan (30 pasal) dan sisipan (15 pasal) dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal-pasal tersebut terkait aturan hukum tentang Tenaga Kerja Asing (TKA); Upah, Jaminan Sosial, Hubungan Kerja, Pesangon; dan denda.

Berdasarkan fakta penghapusan dan pengubahan pasal-pasal UU Ketenagakerjaan di dalam RUU Cipta Kerja, KRPI menyatakan sikap dengan pertimbangan pertama, amanat alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibnan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kedua, substansi RUU Cipta Kerja tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 serta harus berorientasi dan memprioritaskan kepentingan nasional demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, metode omnibuslaw yang digunakan dalam RUU Cipta Kerja pun jangan sampai memperlemah Republik Indonesia sebagai negara hukum dan memperburuk kualitas aturan hukum dalam undang-undang eksisting/sektoral yang telah berlaku.

Keempat, cluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja selayaknya melahirkan aturan hukum yang dapat mendorong ketenagakerjaan yang lebih baik. Jangan sampai revisi terhadap UU Ketenagakerjaan malah mereduksi/menghilangkan manfaat yang telah diterima oleh pekerja Indonesia selama ini. Kelima, aturan hukum dalam RUU Cipta Kerja jika sungguh-sungguh bertujuan untuk membuka akses rakyat terhadap ekonomi dan kesempatan bekerja harus mampu mengintegrasikan politik legislasi sistem pendidikan nasional, sistem nasional ketenagakerjaan, sistem nasional perindustrian, sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 Tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

“Atas pertimbangan tersebut, KRPI merekomendasikan untuk mempertahankan pasal-pasal di UU Ketenagakerjaan yang diusulkan dihapus oleh Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja, Menerima usulan Pemerintah tanpa atau dengan perubahan redaksional dan Pasal yang diusulkan perubahan baik dengan penghapusan maupun penambahan redaksional kalimat,” kata juru bicara KRPI, Timboel Siregar di Jakarta, Kamis (3/9).

Berikut kesimpulan dari Daftar Inventarisir Masalah perbandingan UU Ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja, Rekomendasi KRPI pada RUU Cipta Kerja.
1. Mempertahankan pasal-pasal di UU Ketenagakerjaan yang diusulkan dihapus oleh Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja, yaitu Tentang Tenaga Kerja Asing (6 Pasal), Tentang Upah, Jaminan Sosial, Hubungan Kerja (21 Pasal), Tentang PHK dan Pesangan (20 Pasal) khusus Pasal 155 ayat (2) UUK 13/2003 ditambah kalimat “upah proses harus tetap dibayar sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” sesuai dengan Putusan MK 037/PUU-IX/2011 tentang upah proses dan Tentang Denda (6 Pasal).
2. Menerima usulan Pemerintah tanpa atau dengan perubahan redaksional, yaitu Tentang Upah, Jaminan Sosial, Hubungan Kerja. Pasal 56 Penambahan ayat (3) dan ayat (4) di RUU Cipta Kerja dihapus karena penggunaan frasa “kesepakatan” melemahkan hak-hak buruh/pekerja dalam hal perlindungan upah dan kepastian kerja, Pasal 58 ditambah frasa “dan masa percobaan tetap dihitung sebagai masa kerja” pada, Pasal 58 ayat (2), Pasal 77A, mengacu/diharmonisasikan dengan penjelasan Pasal 78 ayat (3) RUU Cipta Kerja, Pasal 78 ayat (1), Pasal 78 ayat (4) dan diatur dengan Peraturan Pemerintah, Pasal 79 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) huruf a, Pasal 79 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 88A ayat (3), Pasal 90A dan Pasal 90B yang diharmonisasikan dengan Pasal 91 ayat (1) UUK 13/2003.
Lalu tentang PHK dan Pesangon. Setuju Pasal 159 dihapus sesuai Putusan MK 012/PUU-I/2003 tentang kesalahan berat pada Pasal 158, 159, 160 ayat (1), 170, 171, dan 186. Setuju dengan Pasal 160 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) RUU Cipta Kerja.
3. Pasal yang diusulkan perubahan baik dengan penghapusan, maupun penambahan redaksional, yaitu Tentang Upah, Jaminan Sosial, Hubungan Kerja. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh berupa pesangon sekurang-kurangnya satu kali sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 156 ayat (2)”.

Di antara Pasal 65 ayat (7) dan ayat (8) ditambah satu ayat, yaitu ayat 7A yang berbunyi: “Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mensyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hakbagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanaan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain” sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 027/PUU-IX/2011 tentang outsourcing pada Pasal 65 ayat (7), Pasal 66 ayat (2) huruf b.

Di antara Pasal 66 ayat (2) huruf b dan huruf c ditambah satu huruf, yaitu huruf b1 yang berbunyi: “Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada huruf b mensyaratkan adanya pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh” sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 027/PUU-IX/2011 tentang outsourcingpada Pasal 65 ayat (7), Pasal 66 ayat (2) huruf b.

Pasal 88A ayat (1) dan ayat (2) dihapus, Pasal 88B dihapus karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Pasal 88C di RUU Cipta Kerja dihapus, kembali ke Pasal 88 UUK 13/2003, Pasal 88D, Pasal 88E, Pasal 88F, Pasal 88G, di RUU Cipta Kerja dihapus, kembali ke Pasal 89 UUK 13/2003, Penambahan pasal 95 ayat (2), dan ayat (3) di RUU Cipta Kerja, sehingga Pasal 95 menjadi 5 ayat dan Pasal 96 UUK 13/2003 berubah menjadi “Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak mengenal kadaluwarsa”, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 tentang kadaluarsa tuntutan pembayaran upah.

Tentang PHK dan Pesangon. Pasal 151A RUU Cipta Kerja dihapus, Pasal 154A RUU Cipta Kerja dihapus, Perubahan pada Pasal 157 ayat (1) huruf b menjadi: “Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan pekerja/buruh dan keluarganya”.

Perubahan pada Pasal 157 ayat (2) menjadi: “Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari”, Perubahan pada Pasal 157 ayat (1) huruf b menjadi: “Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan pekerja/buruh dan keluarganya”.

Perubahan pada Pasal 157 ayat (2) menjadi: “Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari”.
Pasal 157A RUU Cipta Kerja dihapus dan Pasal 158 UUK 13/2003 menjadi: “Pemutusan Hubungan Kerja karena kesalahan berat hanya dapat dilakukan setelah memperoleh putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap” sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tentang kesalahan berat pada Pasal 158, 159, 160 ayat (1), 170, 171, dan 186.

Pasal 160 ayat (1) menjadi: “Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana, maka pengusaha tetap wajib membayar upah sampai adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap” mengacu pada Putusan MK 012/PUU-I/2003 tentang kesalahan berat pada Pasal 158, 159, 160 ayat (1), 170, 171, dan 186.

Pasal 160 ayat (2) menjadi: “Dalam hal pekerja/buruh dinyatakan bersalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum diputus oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya sesuai dengan ketentuan dalam UUK 13/2003.

Pasal 160 ayat (6) menjadi: “Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), dilakukan melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial”.

Pasal 164 ayat (3) menjadi: “Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan efisiensi apabila perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu sesuai, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4)” sesuai dengan Putusan MK 019/PUU-IX/2011 tentang efisiensi tenaga kerja pada Pasal 164 ayat (3).

Pasal 169 ayat (1) huruf c menjadi: “dalam hal pengusaha melakukan perbuatan tidak membayar upah tepat waktu pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu” sesuai dengan Putusan MK 058/PUU-IX/2011 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pengusaha tidak membayar upah pada Pasal 169 ayat (1) huruf c.
Terakhir Pasal 171 diubah menjadi: “Gugatan PHK tidak mengenal masa kadaluarsa” sesuai Putusan MK 114/PUU-XII/2015 tentang kadaluarsa pada Pasal 171.

“Jika rekomendasi ini tidak diterima oleh Panja RUU Cipta Kerja DPR RI dan Pemerintah yang terlibat dalam pembahasan, serta draft dari Pemerintah dipaksakan disahkan sebagai undang-undang, meski terindikasi kuat bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan Ketetapan MPR I/MPR/2003, maka KRPI akan menempuh jalur hukum. Mohon dukungan dari seluruh rakyat pekerja Indonesia,” tegasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka