File illustration picture showing the logo of car-sharing service app Uber on a smartphone next to the picture of an official German taxi sign in Frankfurt, September 15, 2014. A Frankfurt court earlier this month instituted a temporary injunction against Uber from offering car-sharing services across Germany. San Francisco-based Uber, which allows users to summon taxi-like services on their smartphones, offers two main services, Uber, its classic low-cost, limousine pick-up service, and Uberpop, a newer ride-sharing service, which connects private drivers to passengers - an established practice in Germany that nonetheless operates in a legal grey area of rules governing commercial transportation. REUTERS/Kai Pfaffenbach/Files (GERMANY - Tags: BUSINESS EMPLOYMENT CRIME LAW TRANSPORT)

Jakarta, Aktual.com — Polemik angkutan umum taksi berbasis online dengan yang konvensional masih menjadi permasalahan besar dunia transportasi Ibukota.

Satu sisi, sebagai implikasi dari kemajuan teknologi, hadirnya taksi online tak bisa dibendung. Tapi di sisi lain, sebagai pelaku bisnis, mereka harus mengikuti aturan, terutama aspek pajak, seperti pebisnis konvensional.

Menurut pakar IT, Rahman Mangussara, pemerintah memang harus duduk bersama dengan pelaku bisnis taksi online ini agar mudah dalam pengaturannya. Dan jika mau mengatur, langkah yang paling mudah itu terkait dengan isu pajaknya.

“Sehingga dalam hal ini, isu KIR itu termasuk menjadi salah satu yang harus dipenuhi pelaku taksi online, karena itu bagian dari aturannya,” kata dia dalam satu acara di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu (26/3).

Kondisi ini, kata dia, yang dibilang para pebisnis taksi konvensional yang mengaku playing field (lapangan mainnya) tidak sama rata.

“Jadi kalau mereka (konvensional) dipajaki, maka yang online juga sama. Termasuk soal naik-turunnya harga itu diatur juga. Jadi tidak bisa seenaknya,” tegas dia.

Bahkan dalam hal pajak ini, lanjut Rahman, sepertinya pemerintah kurang gerak cepat terutama dalam bisnis online secara keseluruhan. “Sama saja seperti saya belanja di e-Bay, itu ada pajaknya. Tapi sepertinya pajaknya itu hanya buat AS sana, pemerintah kita tidak dapat,” kata dia.

Dari sisi pelaku Uber dan Grab yang memiliki aplikasi, mereka sendiri hanya sebagai penyedia jasanya. Karena mereka tidak menyediakan armada mobilnya.

“Sehingga dari sisi pengemudinya harus dibuat badan hukum, agar mudah dalam pengenaan pajaknya,” tegas dia.

Di tempat yang sama, pengamat digital economy, Fahmi Fahruddin menyebutkan, pajak ini memang menjadi isu penting dalam polemik taksi online ini.

“Tapi pajaknya harus jelas. Agar bisnis ini tidak langsung mati. Karena sebagai penyedia jasa aplikasi, Uber dan Grab mestinya sudah punya badan hukum yang tentunya bayar pajak ke pemerintah (Kemenkoinfo),” kata dia.

Untuk itu, pemilik aplikasi Grab dan Uber, tentu yang memegang kendali. Sebab mereka sendiri yang tahu seberapa banyak transaksi yang dilakukan para pengemudinya.

“Karena mereka yang mempunyai datanya. Berapa penumpang dalam sehari, siapa saja penumpangnya, sebarapa besar arus uangnya dari transaksi itu, pasti ada. Tinggal dilaporkan ke pemerintah untuk bayar pajaknya,” tegas dia.

Yang terpenting, lanjut dia, pemerintah mau duduk bareng membahas dengan pelakunya, tanpa harus mematikan bisnisnya.

“Soalnya transportasi ini sudah menjadi local demand. Masyarakat yang membutuhkan transportasi itu. Jadi tidak bisa ditutup sepihak,” pungkas Fahmi.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan