Jakarta, aktual.com – Ekonom senior Rizal Ramli kembali mengingatkan pemerintah untuk segera membuat terobosan dalam mengatasi persoalan industri baja nasional yang memicu melebarnya defisit transaksi berjalan akibat impor baja yang begitu besar. Lagi-lagi mantan anggota tim panel ekonomi PBB itu memberikan beberapa solusi dalam permasalahan tersebut.
Sebagaimana diketahui, pada pekan lalu Presiden Jokowi telah menyampaikan keprihatinan atas besarnya impor baja yang masuk ke Indonesia. Baja, kata Jokowi, masuk urutan ketiga terbesar dalam daftar impor. Besarnya jumlah impor baja itu tidak bisa dibiarkan sebab disamping merugikan industri baja nasional, juga memicu defisit transaksi berjalan.
“Ini tentu saja menjadi salah satu sumber utama defisit. Defisit transaksi berjalan kita. Apalagi baja impor tersebut, kita sudah bisa produksi di dalam negeri,” tegas Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Rabu (12/2/2020).
Padahal, satu setengah tahun silam atau tepatnya 6 Oktober 2018, Rizal Ramli sudah memberi peringatan. Lonjakan impor baja, kata Rizal, tidak saja membuat defisit transaksi berjalan kian melebar, tapi juga menyulitkan usaha industri baja nasional. Jika sudah sulit, kenaikan pengangguran serta masalah sosial yang mengikutinya, tinggal menunggu giliran. Karena itu, kata Rizal, harus ada terobosan yang memadai.
Mantan Menteri Kordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu mengusulkan sejumlah langkah yang bisa ditempuh tim ekonomi pemerintah.
“Pertama, memanfaatkan kedekatan kita dengan China, dengan melobi pemimpin negara itu. Poin kita jelas. Kurangi ekspor baja mereka ke sini. Dan perlu disampaikan secara tegas bahwa kalau ekonomi Indonesia sempoyongan, mereka akan getah juga. Dan jika cara negosiasi itu seperti memukul angin alias sia-sia belaka, harus pikirkan cara lain yang lebih bergigi,” ujar Rizal Ramli, Kamis (20/2/2020).
Kedua, sambung Rizal Ramli, pemerintah harus menerapkan kebijakan anti dumping. Rizal mengusulkan agar Indonesia menetapkan tarif bea masuk 25% untuk impor baja dan segala turunannya. Langkah itu, lanjut Rizal, sangat beralasan lantaran di negeri asalnya, para importir baja mendapat keringanan pajak. Mereka bahkan sudah mendapat tax rebate 10 % dari pemerintah.
“Dengan tarif bea masuk 25% itu, pasar akan kembali sehat. Harga jadi kompetitif. Ekonomis bagi industri baja dalam negeri. Mereka bisa bersaing, produksi bisa naik, dan tentu saja bisa membukukan keuntungan,” katanya.
Menata kembali keran impor kita, lanjut Rizal, bukan saja menolong industri tapi juga menekan defisit transaksi berjalan. Dalam siaran pers, yang dipublikasi sejumlah media 5 Juli 2019, Rizal mengkritik keras kebijakan tim ekonomi pemerintah yang punya nyali mengurangi impor barang-barang kecil seperti bedak dan lipstik, yang nyaris tidak punya daya tekan terhadap defisit transaksi berjalan. “Kenapa tidak fokus kepada yang besar-besar seperti baja dan turunannya itu,” tegas Rizal.
Meski agak terlambat, keberanian Presiden Jokowi untuk tidak membiarkan negeri ini terus-terusan impor baja dalam jumlah besar, sebagaimana disampaikan Rabu pekan lalu itu, dinilai baik oleh Rizal Ramli. “Memang dibutuhkan langkah terobosan yang berani dari pemerintah kita,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, sejumlah industri baja dalam negeri tengah mengalami kesulitan usaha akibat impor baja yang begitu besar. Pada Februari 2019, ramai diberitakan perusahaan seperti Krakatau Steel akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi menyelamatkan keuangan perusahaan.
Kabar tentang rencana PHK itulah yang memantik ribuan buruh Krakatau Steel, pada Selasa 7 Februari 2019, bergerak ke jalan. Berunjuk rasa, menolak rencana yang menurut mereka tidak saja mengancam periuk nasi, tapi sekaligus membuat masa depan keluarga mereka menjadi gelap.
Artikel ini ditulis oleh:
Eko Priyanto